Jumat, 13 November 2009

Berburu Bangkai Kapal di Selat Bangka


Budi Wiyana terlihat sedikit kesal. Perahu kayu yang ia tumpangi bersama anggota tim survei dari Direktorat Peninggalan Bawah Air, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hanya berputar-putar di perairan sekitar Pulau Pelepas.

Sudah lebih dari dua jam sejak rombongan bertolak dari dermaga Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, titik tempat bangkai kapal Belanda yang terkubur di perairan ini belum juga bisa dipastikan. Seorang nelayan yang bertindak sebagai pemandu, kendati sudah pernah melakukan penyelaman di lokasi ini, masih ragu menunjuk lokasi persisnya.

Matahari sudah berada lurus ”di atas” kepala. Laut yang semula relatif tenang mulai berulah akibat angin kencang datang dari buritan. Perahu pun oleng diombang-ambingkan gelombang. Ketika rasa mual itu tak tertahankan, dari arah buritan terdengar suara beberapa orang muntah.

Setelah mereka-reka dan melihat posisi Pulau Pelepas sebagai patokan, meski terlihat masih agak ragu, sang nelayan memberanikan diri menunjuk satu titik di tengah laut lepas. Kapal pun bergerak maju, lalu berputar, dan sauh pun diturunkan. Dua penyelam lokal yang bertindak sebagai tim pendahulu diminta terjun terlebih dahulu untuk mengecek keletakan bangkai kapal dimaksud, sekaligus memasang tali pengaman.

Lima arkeolog gabungan dari Balai Arkeologi Palembang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, dan Direktorat Peninggalan Bawah Air, Ditjen Sejarah dan Purbakala, yang sudah siap dengan peralatan selam hanya bisa menunggu. Kurang dari 3 menit, Bujang dan Sabar yang mendahului penyelaman muncul ke permukaan, tanpa hasil.

”Di lokasi ini tidak ada,” kata Bujang.

Baru setelah pada penyelaman berikutnya di lokasi berbeda, begitu muncul ke permukaan laut, senyum Bujang dan Sabar tampak mengembang. Perburuan terhadap sisa bangkai kapal Belanda yang kandas di perairan Selat Bangka—sekitar 2 mil laut (3,7 kilometer) lokasi dari mercusuar di Pulau Pelepas yang pernah dipugar atas perintah Ratu Wilhelmina pada tahun 1893—itu baru langkah awal untuk pendataan lebih lanjut.

”Kayaknya lumayan besar dan panjang, terbujur pada kedalaman sekitar 17 meter dari permukaan laut. Tetapi, arus di bawah sudah mulai kencang, Pak. Airnya pun mulai keruh,” ujar Sabar memberikan laporan.

Setelah tim berembuk, mengingat semakin siang menjelang sore kondisi laut perairan Selat Bangka mulai tidak bersahabat, diputuskan hanya satu orang yang turun. Itu pun untuk membuat dokumentasi awal.

Pilihan jatuh pada Judi Wahjuddin. Dibekali kamera khusus, arkeolog dari Direktorat Peninggalan Bawah Air ini—ditemani Bujang—terjun ke dasar laut.

Kali ini penyelaman berlangsung lebih lama, sekitar 15 menit. Begitu muncul di permukaan, Judi melaporkan, arus di bawah bukan saja semakin deras, tingkat kekeruhan air pun kian pekat, dengan jarak pandang hanya 1-2 meter.

Judi dan Bujang sempat memutari bangkai kapal besi itu, sekaligus melakukan pengukuran. Diketahui, kapal sepanjang sekitar 70 meter tersebut kandas dalam kondisi terbelah dua.

Gosong dan karang

Kalau saja laut di perairan Kepulauan Bangka Belitung bisa dikeringkan, niscaya serakan sisa-sisa bangkai kapal kuno dari berbagai masa akan menyembul ke permukaan. Jumlahnya pun dipastikan sangat fantastis.

Selama berabad-abad, terutama sejak Sriwijaya menjadi penguasa laut di kawasan ini pada abad VII-XII, urat nadi pelayaran dan perdagangan yang melewati perairan Bangka Belitung tergolong padat. Sebagai penguasa kawasan ”muara” selat yang diapit daratan Tanah Semenanjung dan Pulau Sumatera, Sriwijaya berkepentingan untuk menjadikan wilayah perairan Bangka Belitung sebagai alur pelayaran utama.

Kapal bermuatan barang-barang dagangan, termasuk benda-benda berharga, dari daratan Tiongkok menuju Asia Barat dan Persia dikondisikan harus melalui wilayah kekuasaan Sriwijaya. Sebagian dibelokkan memasuki alur pelayaran Sungai Musi menuju Palembang.

Alur pelayaran melalui perairan Bangka Belitung sesungguhnya penuh risiko. Banyak gosong dan karang, yang menjadi ancaman kapal-kapal yang melintas. Tidak mengherankan bila selama berabad-abad banyak kapal kandas dan akhirnya tenggelam di kawasan ini.

Kapal Belanda yang terkubur di sebelah barat Pulau Pelepas baru satu contoh kecil. Pada masa yang jauh lebih ke belakang, kapal-kapal karam tentu lebih banyak lagi. Belum adanya peralatan navigasi yang mendukung aktivitas pelayaran, serta banyaknya gosong dan karang di kawasan ini diduga menjadi penyebab utama, selain aksi perompakan dan pembakaran kapal oleh lanun (istilah bajak laut di kawasan ini) yang banyak dicatat dalam kronik-kronik China serta Arab dan Persia.

Sebuah catatan kuno mengenai pelayaran China menyebutkan lebih dari 30.000 kapal yang diberangkatkan dari pelabuhan-pelabuhan di daratan Tiongkok tidak kembali karena tenggelam di perjalanan. Sebagian besar dari kapal-kapal tersebut diperkirakan melalui perairan Bangka Belitung, yang memang sudah diketahui banyak terdapat gosong dan karang.

Tidak aneh bila pencarian titik-titik lokasi kapal karam yang dilakukan secara diam-diam di perairan ini terus berlangsung hingga kini. Nelayan pun banyak yang dilibatkan dalam kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang keberadaan kapal karam di kawasan ini.

”Tidak sedikit calon investor yang memburu informasi tentang titik lokasi yang diindikasikan tempat sisa bangkai kapal terkubur. Kabarnya, untuk informasi semacam itu, mereka berani membayar mahal, Rp 100 juta hingga Rp 150 juta,” kata Surya Helmi, Direktur Arkeologi Bawah Air. (WAD/KEN)
Kompas.com - 13 November 2009
Selengkapnya...

Senin, 02 November 2009

Hewan Abadi


Pada 1888, seorang petani Mesir yang sedang menggali pasir tak jauh dari desa Istabl Antar menemukan kuburan massal. Jasad-jasad di dalamnya bukanlah jasad manusia. Mereka adalah Jasad kucing purba yang dimumikan dan dikubur di dalam lubang yang jumlahnya mencengangkan. “Bukan hanya satu-dua ekor di sana-sini,” tulis majalah English Illustrated Magazine, “tetapi puluhan, ratusan, ratusan ribu, hingga membentuk lapisan yang melebihi tebal lapisan batubara, bertumpuk 10 hingga 20 ekor.” Sebagian kucing yang terbalut linen itu masih terlihat bagus, bahkan beberapa wajahnya bersepuh emas. Anak-anak desa pun menjual spesimen-spesimen terbaik kepada wisatawan dengan harga murah sementara sisanya dijual dalam partai besar sebagai pupuk. Sekitar 180.000 ekor mumi kucing, seberat kurang-lebih 17 ton, lalu diangkut dalam sebuah kapal ke Liverpool untuk ditebarkan di ladang-ladang di Inggris.

Itulah yang terjadi dalam zaman ekspedisi yang digelontori dengan dana besar yang menggali berhektare-hektare padang pasir dalam rangka mencari makam kerajaan serta emas menakjubkan, topeng berlukis, dan peti mati untuk menghiasi rumah dan museum Eropa dan Amerika. Ribuan mumi binatang yang ditemukan di tempat suci di seantero Mesir itu hanya menjadi penghalang yang perlu disingkirkan untuk meraih artefak berharga. Tak banyak orang yang mempelajari mumi-mumi binatang itu, dan nilai pentingnya pun nyaris tak diketahui.

Seabad kemudian, arkeologi tak lagi menjadi perburuan trofi dan semakin bersifat ilmiah. Para penggali kini menyadari bahwa sebagian besar kekayaan situsnya terletak pada berbagai perincian tentang orang biasa—perbuatan mereka, pemikiran mereka, dan cara mereka berdoa. Mumi binatang merupakan bagian penting dari penemuan berharga ini.

“Mumi binatang merupakan perwujudan kehidupan sehari-hari,” ujar pakar tentang Mesir Salima Ikram. “Hewan peliharaan, makanan, kematian, agama. Hal-hal tersebut mencakup semua hal yang dianggap penting oleh orang Mesir.” Ikram yang mengkhususkan diri dalam zooarkeologi—ilmu yang mempelajari jasad binatang dari zaman kuno—ikut mengawali penelitian baru tentang kucing dan binatang lain yang diawetkan secara sangat terampil dan saksama. Sebagai profesor di American University di Cairo, Ikram memanfaatkan koleksi mumi binatang yang terbengkalai dalam Museum Mesir sebagai proyek penelitian. Setelah melakukan pengukuran yang presisi, mengintip ke balik bebat linen dengan sinar-x, dan menyusun daftar dari temuan-temuannya, dia membuat ruang pamer untuk koleksi tersebut—jembatan antara masyarakat masa kini dengan kaum di masa lampau. “Saat melihat hewan-hewan ini, kita bisa berkata, ‘Oh, Raja Anu punya peliharaan. Saya juga punya. Alih-alih terpisah jarak 5.000 tahun lebih, orang Mesir kuno ini pun dilihat sebagai sesama manusia.”

Kini mumi hewan menjadi salah satu objek pameran yang paling populer di museum yang penuh dengan artefak berharga itu. Pengunjung dari semua umur, orang Mesir maupun orang asing, berjejalan melihatnya. Di balik panel kaca terbaring sejumlah kucing yang terbalut kain linen, yang membentuk pola belah ketupat, garis-garis, bujur sangkar, dan bersilangan. beberapa celurut terbaring tenang dalam kotak batu gamping berukir, dan . kambing-kambing jantan di dalam kotak berhias sepuhan dan manik-manik. Seekor gazelle yang terbungkus tikar papirus rombeng tampak demikian gepeng akibat proses pemumian, sehingga Ikram menyebutnya Korban Tabrak Lari. Seekor buaya sepanjang lima meter dengan punggung penuh tonjolan kulit dikubur bersama sejumlah mumi anak buaya di mulutnya. Burung ibis terbungkus dengan hiasan rumit. Juga ada elang, ikan, bahkan kumbang pel yang kecil beserta bola tahi yang dimakannya.

Beberapa hewan diawetkan agar tuannya yang meninggal punya teman di alam kekal. Orang Mesir kuno yang mampu membiayainya menyiapkan kuburannya secara mewah, berharap barang pribadi yang dikumpulkan, serta semua karya seni yang dipesan khusus, akan tersedia bagi mereka setelah mati. Bermula pada sekitar 2950 SM, raja-raja dinasti pertama Mesir dikuburkan di Abydos bersama anjing, singa, dan keledai dalam kompleks pemakaman mereka. Lebih dari 2.500 tahun kemudian, pada masa dinasti ke-30, seorang rakyat jelata di Abydos bernama Hapi-men dimakamkan bersama anjing kecilnya yang meringkuk di kaki lelaki itu.

Mumi-mumi hewan lainnya berperan sebagai bekal orang yang mati. Potongan daging sapi terbaik, bebek, angsa, dan burung dara yang lezat diasinkan, dikeringkan, lalu dibungkus dengan linen. “Mumi pangan” demikian sebutan Ikram bagi dendeng pilihan untuk alam baka ini. “Tak masalah apakah semasa hidup dia menikmati makanan ini secara teratur, yang penting bisa dinikmati di alam baka.”

Sementara itu, beberapa jenis hewan lainnya dimumikan karena merupakan representasi hidup dewa tertentu. Kota Memphis yang mulia, ibu kota Mesir pada hampir sepanjang sejarah kunonya meliputi wilayah seluas 50 kilometer persegi pada masa puncaknya sekitar 300 SM. Penduduk Memphis sekitar 250.000 jiwa. Saat ini sebagian besar sisa kejayaan Memphis terletak di bawah desa Mit Rahina dan ladang di sekitarnya. Namun di sepanjang jalan berdebu, puing-puing sebuah kuil berdiri setengah tersembunyi oleh belukar. Inilah rumah pembalsaman sapi jantan Apis, salah satu hewan yang paling dipuja di seluruh Mesir purba.

Apis yang merupakan lambang kekuatan dan kejantanan sangatlah erat kaitannya dengan raja yang adikuasa. Makhluk ini setengah hewan setengah dewa dan dipilih untuk dipuja karena tanda tak lazim yang dimilikinya: segitiga putih di keningnya, pola sayap putih di bahu dan bokongnya, siluet kumbang pel di lidahnya, dan ujung rambut ekornya yang bercabang. Pada masa hidupnya, Apis dipelihara dalam suaka khusus, dimanjakan pendeta, dihiasi emas dan permata, dan dipuja banyak orang. Setelah mati, ruhnya dipercaya pindah ke sapi jantan lain, maka dimulailah pencarian Apis yang baru. Sementara itu, jasad hewan yang mati dibawa ke kuil dan dibaringkan di atas batu travertin yang terukir indah. Proses pemumian memakan waktu sekurangnya 70 hari—40 hari untuk mengeringkan daging yang tabal itu dan 30 hari untuk membungkusnya.

Pada hari pemakaman sang sapi, penduduk kota berduyun-duyun ke jalan untuk menyaksikan acara berkabung nasional tersebut. Sambil meratap dan menjambak-jambak rambut, mereka menyesaki jalan ke katakomba (kuburan bawah tanah) yang kini dikenal sebagai Serapeum di nekropolis (area pemakaman) padang pasir Saqqara. Dalam prosesi pemakaman, pendeta, penyanyi kuil, dan pejabat tinggi mengantar mumi itu ke kawasan gua galeri berkubah yang dipahat dari lapisan-batu-dasar gamping. Di sana, di antara koridor panjang pemakaman sebelumnya, mereka memakamkan mumi itu ke dalam sarkofagus raksasa dari kayu atau granit. Namun, beberapa abad setelahnya, kesucian tempat ini dilanggar karena pencuri mendongkel tutup sarkofagus dan menjarah mumi tersebut untuk diambil ornamennya yang berharga. Sayang, tak ada pemakaman sapi Apis yang masih utuh.

Hewan suci lainnya dipuja di pusat kultusnya masing-masing—sapi jantan di Armant dan Heliopolis, ikan di Esna, kambing jantan di Pulau Elephantine, buaya di Kom Ombo. Ikram percaya, gagasan tentang makhluk suci seperti itu lahir pada awal peradaban Mesir ketika curah hujan yang lebih lebat dibanding zaman sekarang menjadikan tanah di Mesir hijau dan gemah ripah. Karena dikelilingi hewan, orang mulai mengaitkan berbagai satwa itu dengan dewa tertentu sesuai kebiasaannya. Buaya misalnya. Binatang ini secara naluriah bertelur di atas batas luapan air saat banjir tahunan Nil, peristiwa penting yang merendam dan menyuburkan ladang dan menyebabkan Mesir kembali bangkit tahun demi tahun. “Buaya dianggap ajaib,” ujar Ikram, “karena memiliki kemampuan meramal.”

Kabar tentang banjir yang baik ataupun yang buruk penting bagi negeri petani. Demikianlah secara berangsur-angsur buaya menjadi lambang Sobek, dewa-air kesuburan, dan sebuah kuil dibangun di Kom Ombo, salah satu tempat di Mesir selatan yang jadi lokasi banjir pertama terlihat setiap tahunnya. Di tempat suci itu, tak jauh dari tepi sungai tempat buaya liar berjemur, buaya peliharaan menikmati hidup bermanja dan dikuburkan dengan upacara yang serupa setelah mati.
MUMI HEWAN TERBANYAK, hingga jutaan di Istabl Antar, adalah hewan pembayar nazar yang dikorbankan selama perayaan tahunan pada kuil pemujaan hewan di Istabl Antar. Seperti pasar malam, pertemuan akbar ini menghidupkan pusat agama di hulu dan hilir Sungai Nil. Ratusan ribu peziarah tiba dan mendirikan kemah. Musik dan tarian memenuhi jalur arak-arakan. Pedagang menjual makanan, minuman, dan tanda mata. Pendeta menjadi penjaja, menawarkan mumi yang dibungkus sederhana di samping yang lebih mewah bagi orang yang mampu membayar lebih tinggi—atau setidaknya yang merasa demikian. Di tengah kepulan asap dupa, dan umat mengakhiri ziarah mereka dengan memberikan mumi pilihannya ke kuil dengan teriring doa.

Beberapa tempat dikaitkan dengan hanya satu dewa dan hewan perlambangnya. Namun di tempat-tempat yang tua dan mulia seperti Abydos ditemukan semua jenis mumi persembahan, dimana setiap spesies merupakan penghubung dengan dewa tertentu. Di Abydos yang jadi tempat pemakaman para penguasa awal Mesir, penggalian mengungkap mumi ibis yang kemungkinan melambangkan Thoth, dewa kearifan dan tulisan. Elang mungkin melambangkan dewa-langit Horus, pelindung raja yang sedang berkuasa. Sementara anjing dihubungkan dengan Anubis yang berkepala jakal, sang penjaga orang mati. Dengan menyumbangkan salah satu mumi ini ke kuil, peziarah dapat memperoleh rahmat dewa. “Makhluk itu akan selalu berbisik kepada sang dewa, katanya, ‘Ini dia, ini dia pemujamu, berkatilah dia,'" jelas Ikram.

Sejak dinasti ke-26 sekitar 664 SM, mumi persembahan menjadi sangat populer. Negeri itu baru saja mengusir penjajahnya, dan warga Mesir dengan lega kembali kepada budayanya sendiri. Bisnis mumi pun marak, mempekerjakan banyak tenaga khusus. Hewan harus dibiakkan, dipelihara, dibunuh, dan dimumikan. Mereka harus pula mengimpor damar, mempersiapkan bebat, dan menggali makam.

Walaupun tujuan dari produk ini mulia, tetap terjadi kecurangan dalam pelaksanaannya dan terkadang peziarah mendapat barang yang tidak sesuai. “Pemalsuan, penipuan,” kata Ikram. Pemeriksaan sinar-x yang dilakukan Ikram memperlihatkan berbagai penipuan terhadap konsumen, yaitu hewan yang murah menggantikan hewan langka yang lebih mahal; mumi diisi tulang atau bulu, bukannya binatang utuh; pembalut indah yang hanya membungkus lumpur. Ikram menemukan bahwa semakin indah kemasan luar dari mumi, kemungkinan penipuan makin besar.

Untuk mengetahui cara kerja pembalsam zaman dahulu—topik yang tidak dibahas atau hanya diuraikan secara samar-samar dalam teks kuno—Ikram melakukan percobaan pembuatan mumi. Untuk mendapatkan bahan percobaan, dia mengunjungi labirin suq, pasar Khan el-Khalili yang sudah ada sejak abak ke-14 di Kairo. Di toko kecil yang hanya satu blok dari kios cendera mata, seorang klerek menggunakan neraca kuningan tua untuk menimbang gumpalan kristal abu-abu. Kristal itu adalah natron, garam yang menyerap kelembapan dan lemak, bahan pengering penting dalam pembuatan mumi. Bahan ini masih ditambang tak jauh di barat daya Delta Sungai Nil dan biasanya dijual sebagai soda pembersih. Di toko ramuan tak jauh dari situ, Ikram menemukan minyak yang dapat melenturkan kembali jasad yang kering dan kaku, serta keping damar yang ketika dicairkan akan menyegel bebat mumi. Sayangnya tak ada lagi yang menjual tuak nira yang digunakan pembalsam zaman dahulu sebagai pembasuh rongga tubuh setelah dikeluarkan isinya. Sebagai ganti, Ikram menggunakan gin buatan setempat.

Ikram memulai pembuatan muminya dengan kelinci karena ukurannya mudah ditangani dan bisa dibeli di toko daging. “Alih-alih menjadikannya sup kelinci, kuberi mereka hidup abadi,” ujarnya. Flopsy—dalam upayanya ini, Ikram menamai semua muminya—dia pendam secara utuh di dalam natron. Jasadnya tak bertahan sampai dua hari. Lalu, terbentuklah gas yang makin lama makin banyak untuk kemudian meledak. Adapun muminya yang bernama Thumper (diambil dari nama kelinci dalam film Bambi lansiran Disney) bernasib lebih baik. Paru, hati, lambung, dan usus si Thumper dikeluarkan. Dia kemudian diisi dengan natron dan dipendam dalam natron yang lebih banyak. Thumper bertahan.

Fluffy, mumi kelinci yang kandidat berikutnya, membantu memecahkan teka-teki arkeologi. Natron yang dimasukkan ke dalam tubuhnya menyerap cairan yang sangat banyak membuat natron menjadi lembek, bau, dan menjijikkan. Ikram mengeluarkan natron lembek itu dan lalu mengganti jeli natron tersebut dengan natron baru di dalam kantong linen. Kantong ini mudah diambil begitu mulai lembek, itulah sebabnya ditemukan buntalan seperti ini di banyak peti pembalsaman.

Proses pembalsaman Peter Cottontail sangat berbeda. Alih-alih mengeluarkan isi perut, Peter diberi terpentin dan minyak cedar lewat injeksi enema (melalui dubur) sebelum dimasukkan ke dalam natron. Herodotus, sejarawan Yunani ternama, menulis tentang prosedur ini pada abad kelima SM, tetapi para akademisi tidak sepakat tentang reliabilitasnya. Dalam hal ini, percobaan itu membuktikan bahwa Herodotus benar. Semua isi perut Peter larut kecuali jantungnya—satu-satunya organ yang selalu disisakan oleh orang Mesir purba.

Sama seperti hewan yang dimumikan lebih dari 3.000 tahun silam, mumi Ikram juga menuju ke alam baka yang bahagia. Begitu pekerjaan lab selesai, Ikram dan murid-muridnya mengikuti tata cara dan membungkus setiap jasad dengan bebat yang ditulisi mantra gaib. Sambil mengucapkan doa dan membakar dupa, mereka menguburkan mumi-mumi itu dalam lemari ruang kelas dan aktivitas mereka pun memikat pengunjung—termasuk saya. Sebagai persembahan, saya menggambar seikat wortel gemuk dan simbol untuk mengalikan ikatan wortel itu seribu kali. Ikram meyakinkan saya bahwa di alam baka, gambar itu langsung menjadi nyata dan membuat kelinci-kelincinya menggerak-gerakkan hidung kegirangan.
Oleh A. R. Williams, NGI
Selengkapnya...

Minggu, 25 Oktober 2009

SAIL BUNAKEN 12-20 AGUSTUS 2009 ; Revitalisasi Visi Negara Maritim

Kegiatan bahari kaliber internasional bertajuk ”Sail Bunaken 2009” di Manado, Sulawesi Utara (12-20 Agustus 2009) yang diadakan bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-64 RI semoga menginspirasi. Selain parade kapal perang (fleet review), juga ada lintas layar (sail pass), yacht rally Darwin (Australia)-Manado, lintas terbang (flight pass), kirab kota, bakti sosial, dan pengibaran bendera Merah Putih di dalam laut. Semoga bukan hanya memutar roda ekonomi dan mempromosikan pariwisata bahari, namun juga merevitalisasi visi negara maritim Indonesia

Pada ulang tahun kemerdekaan kali ini, Indonesia menarik perhatian dengan menggelar perhelatan bahari tingkat dunia. Rencananya diikuti ratusan kapal dan kapal perang dari berbagai negara. Diperkirakan 8.000 Anak Buah Kapal (ABK) asing akan hadir di Manado. Yang menarik, Kapal Induk USS George Washington milik Angkatan Laut AS juga datang untuk memeriahkan acara. Pada 17 Agustus 2009, sebanyak 1.500 penyelam akan menyelam dan mengadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih di dalam laut untuk memecahkan rekor dunia (Guinness world record).
Tentu saja ”Sail Bunaken 2009” menjadi ajang promosi wisata bahari yang sangat strategis. Gaungnya akan membahana sehingga para turis asing potensial akan tergerak untuk berkunjung ke tanah air. Acara itu sendiri diharapkan memberi dampak multiplayer effect bagi perekonomian di Sulawesi Utara. Bahkan diperkirakan akan ada Rp 25 miliar uang beredar selama penyelenggaraan event kelas dunia tersebut.
Namun, tentu kita masih ingat tragedi bom JW Marriot yang baru lalu, yang telah menggagalkan event akbar sepakbola. Gara-gara kecolongan aksi teror itu, tim Manchester United yang telah lama ditunggu-tunggu batal main di Jakarta. Artinya, sukses ”Sail Bunaken 2009” ini tidak hanya ditentukan oleh kepiawaian para pebisnis pariwisata kita. Suksesnya ditentukan pula oleh kesigapan Indonesia untuk mengamankan perhelatan itu dari segala jenis gangguan keamanan. Kehebatan daya pikat pariwisata bahari tidak begitu dipertaruhkan dalam acara itu. Dunia sudah tahu kemolekan wisata laut kita. Yang justru menjadi pertaruhan adalah kemampuan Indonesia menjamin keamanan. Pariwisata tanpa didukung keamanan juga tidak akan berarti apa-apa seperti sudah terbukti dalam kasus terorisme di Bali.
Dengan demikian, acara ini seharusnya menjadi ajang unjuk kemampuan Indonesia untuk mengamankan tanah airnya dan untuk menjaga tamu-tamunya. Apalagi dalam acara ini hadir banyak kapal perang asing yang tentu saja merepresentasikan kehebatan militer masing-masing negara. Sebagai tuan rumah, apalagi yang sedang berulang tahun, seharusnya kita mampu menjamu dan menjaga para tamu. Bukannya justru ditolong oleh para tamu gara-gara tak becus menangani masalah keamanan. Dalam hal inilah nama Indonesia dipertaruhkan di mata dunia. Supaya orang jangan menduga-duga kalau datangnya kapal induk Amerika Serikat, misalnya, menjadi pertanda seolah-olah Indonesia berlindung di bawah ketiak si Paman Sam itu.
Hal di atas mengingatkan kita akan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim di masa lalu. Masih satu pulau dengan Manado, Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan pernah menjadi penguasa samudera pada abad ke-16. Waktu itu, para pedagang Makassar dan Bugis sudah berlayar menjelajahi kepulauan Indonesia, sampai ke Sumatera, Kalimantan, Malayu, Sri Lanka, Filipina, pantai barat Papua, dan pantai utara Australia. Kapal mereka yang terkenal, pinissi, menjadi teknologi maritim yang tangguh pada zamannya.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, semangat kemaritiman kita masih menggelora. Pada 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia memperjuangkan ”Deklarasi Djuanda”. Intinya adalah penekanan pada ”archipelago principle” dimana lautan bukan sebagai pemisah namun pemersatu antarpulau-pulau dalam sebuah negara kepulauan. Perjuangan itu pun berhasil setelah pada 1983, dalam Konferensi III tentang Hukum Laut Internasional, PBB mengakui Pokok-pokok Azas Negara Kepulauan dan kemudian mencantumkannya dalam UNCLOS 82.
Sayangnya, di tengah kemenangan perjuangan itu, Indonesia sendiri seperti kurang peduli dengan dunia maritim. Buktinya, keamanannya tidak dijaga. Kapal asing sering masuk. Dan, yang kadang tidak disadari oleh masyarakat luas, harta karun di laut kita sudah banyak dicuri. Seandainya kekayaan itu digali dan dimanfaatkan dengan baik maka bangsa ini akan makmur. Menurut arkeolog Amerika Serikat, Tonny Wells, paling tidak terdapat 185 kapal kuna karam di perairan Indonesia. Jumlah itu adalah 41 persen dari total kapal kuna yang karam di kawasan Asia Tenggara. Nilainya sangat menggiurkan. Sebuah saja, misalnya kapal Portugis Flor de la Mar yang karam pada tahun 1511 ditaksir bernilai Rp 56 triliun! Pada 1999, seorang pemburu harta karun Michael Hatcher berhasil mengeruk harta karun kapal Tek Sing yang karam di perairan Riau pada tahun 1822. Hasil buruannya, 350 ribu porselin zaman Dinasti Qing bernilai Rp 132 miliar. Ia menyelundupkan harta karun itu ke Jerman melalui Australia. Menurut investigasi, banyak kasus pencurian harta karun laut di Indonesia terjadi karena tindak kolusi aparat-pejabat-pengusaha, mulai dari tahap perizinan sampai tahap pelelangan.
Dalam hal perdagangan laut, kita juga masih jauh tertinggal. Pada tahun 1970 saja, pelabuhan Singapura sudah sangat ramai, dikunjungi sebanyak 38.066 kapal. Pada tahun 1982 terminal peti kemas di negeri itu telah menangani lebih dari 13 juta ton muatan untuk pengiriman via samudera. Pelabuhan di Singapura telah menjadi pelabuhan transito dan pengumpul komoditas terbesar di Asia Tenggara. Padahal, sejarahnya, pelabuhan Singapura itu dibangun oleh Raffles (1819-1824) untuk tujuan menyaingi Batavia (Jakarta) yang sudah lebih dulu berkembang.
Semoga momen “Sail Bunaken 2009” membangkitkan kembali visi Indonesia sebagai negara maritim. Wilayah laut kita yang indah, kaya, mengandung harta karun, mengandung sumber daya alam dan sumber daya hayati – yang diincar banyak orang – harus kita jaga, kita kuasai, kita amankan, dan kita manfaatkan untuk kepentingan bangsa. Biarlah Merah Putih berjaya di laut kita.q-c (1432-2009)
*) Haryadi Baskoro SSos MA MHum,
Pengamat, Peneliti, Penulis bidang Kebudayaan.

Selengkapnya...

Sepenggal Pesan Harta Karun di Perairan Indonesia


Pada tahun 1986, dunia digemparkan dengan peristiwa penemuan 100 batang emas dan 20.000 keramik Dinasti Ming dan Ching dari kapal VOC Geldennalsen yang karam di perairan Kepulauan Riau pada Januari 1751. Penemu harta karun itu adalah Michael Hatcher, warga Australia, yang menyebut dirinya sebagai arkeolog maritim yang doyan bisnis.

Percetakan Inggris, Hamish Hamilton Ltd, memublikasikan kisah petualangan dan temuan Hatcher itu dalam The Nanking Cargo (1987). Nanking Cargo merupakan sebutan kargo kapal VOC Geldennalsen yang berisi barang-barang berharga hasil transaksi perdagangan VOC di Nanking, China.

Yang paling terkejut dengan temuan Hatcher itu adalah Pemerintah Indonesia. Bagaimana tidak, barang-barang yang dilelang Hatcher di balai lelang Belanda, Christie, senilai 15 juta dollar AS itu ditemukan di perairan Kepulauan Riau.

”Waktu itu, Pemerintah Indonesia merasa kecolongan lantaran Hatcher mengambil harta karun secara ilegal atau tidak seizin pemerintah,” kata Kepala Subpengendalian dan Pemanfaatan Direktorat Peninggalan Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata R Widiati di Rembang, Jawa Tengah, Selasa (18/8).

Bukan itu saja, pada 1999 di Batu Hitam, Bangka Belitung, sebuah perusahaan asing mengambil ratusan batangan emas dan 60.000 porselen China Dinasti Tang yang dilelang senilai 40 juta dollar AS. Setahun kemudian, perusahaan asing yang diduga di bawah kendali Hatcher mengangkut dan melelang 250.000 keramik China dari Selat Gelasa, Bangka Belitung, ke Nagel, balai lelang Jerman.

”Kami tidak mengetahui nilai lelang itu, tetapi kami sempat meminta dan mendapatkan 1.500 keramik untuk disimpan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelestarian peninggalan bawah air,” kata Widiati

Peninggalan bawah air

Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai kekayaan bawah air. Salah satunya adalah benda-benda berupa keramik, emas batangan, uang logam, guci, gerabah, piring, gelas, mangkuk, dan patung yang ditemukan dari sisa kapal karam.

National Geographic (2001) menyebutkan tentang 7 kapal kuno tenggelam di perairan Indonesia bagian barat, terutama Selat Malaka, pada abad XVII-XX. Kapal-kapal itu adalah Diana (Inggris), Tek Sing dan Turiang (China), Nassau dan Geldennalsen (Belanda), Don Duarte de Guerra (Portugis), serta Ashigara (Jepang).

Hal itu belum termasuk kapal-kapal dagang abad III-XV yang didominasi saudagar China yang singgah atau berdagang di sejumlah pelabuhan pada zaman kerajaan di Nusantara. Misalnya, pendeta China, Yijing, mencatat kunjungannya ke Pelabuhan Sriwijaya pada abad VII untuk belajar bahasa Sanskerta.

”Dalam perjalanan, kapal-kapal itu ada yang karam dan tenggelam. Penyebabnya adalah badai di laut, serangan bajak laut, tabrakan dengan kapal lain, dan perang,” kata Widiati.

Direktorat Peninggalan Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mencatat, di Indonesia ada enam daerah penemuan benda peninggalan bawah air, yaitu Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Bangka Belitung, Cirebon (pantai utara Jawa Barat), Kalimantan Barat, dan Rembang (pantai utara Jawa Tengah).

Misalnya, pada tahun 1989, di Pulau Buaya, Kepulauan Riau, PT Muara Wisesa Samudera atas izin Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (Panitia Nasional BMKT) mengangkat 30.000 keramik utuh dan barang-barang dari logam, kayu, dan kaca. Barang-barang yang berasal dari Dinasti Song (abad X-XIII) itu berbentuk mangkuk, piring, buli-buli, tempayan, cepuk, dadu botol, vas, dan kendi.

Tahun 2005, PT Adikencana Salvage atas seizin Panitia Nasional BMKT mengangkat 25.000 keramik China dan 15.000 porselen zaman Dinasti Ching di Karang Heluputan dan Teluk Sumpat, Kepulauan Riau. Perusahaan itu juga menemukan koin, peralatan timbang logam, dan tungku China.

Benda-benda serupa juga ditemukan di perairan Kepulauan Seribu, Bangka Belitung, Cirebon, dan Kalimantan Barat. Khusus di Kepulauan Seribu, PT Sulung Segarajaya dan Seabed Explorations, perusahaan Jerman, menemukan 11.000 benda yang terbuat dari aneka logam, seperti emas, perak, perunggu, dan timah.

Menurut Widiati, temuan- temuan itu berasal dari abad X. Dari identifikasi sebagian badan kapal, kapal itu buatan Indonesia yang berlayar dari ibu kota Sriwijaya, Palembang, menuju Jawa Tengah atau Jawa Timur.

”Para pemburu harta karun itu dapat menemukan lokasi kapal karam berdasarkan catatan perjalanan kapal-kapal tersebut yang tersimpan di berbagai museum atau pembuktian atas laporan dan cerita dari mulut ke mulut warga pesisir di lokasi terdekat,” katanya.

Pada medio 2008 di Rembang, tepatnya di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, sejumlah warga pesisir menemukan perahu kuno relatif utuh di tambak yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai. Perahu itu berlebar 4 meter dan panjang 15,60 meter

Profesor Pierre-Yves Manguin, arkeolog maritim asal Perancis, yang diundang Balai Arkeologi Yogyakarta untuk meneliti perahu, menyatakan, perahu itu berasal dari zaman peralihan Kerajaan Mataram Kuno ke Sriwijaya, 670-780 Masehi. Hal itu dapat diketahui dari teknologi pembuatan perahu, yaitu menggunakan tambuktu atau balok tempat pasak yang diperkuat dengan ikatan tali ijuk.

Di perahu itu ditemukan pula benda-benda lain, seperti tempurung kelapa, potongan tongkat, dan kepala arca perempuan China berdandan Jawa. Diduga perahu itu merupakan perahu dagang antarpulau.

Saat ini, perahu itu dalam penanganan Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Balai tersebut telah mengambil sejumlah contoh berupa kayu perahu, tanah, dan air di sekitar perahu untuk menentukan metode konservasi yang tepat.

Bukti sejarah

Direktorat Peninggalan Bawah Air dan Panitia Nasional BMKT tidak ingin lagi kehilangan harta karun bawah air. Untuk itu, mereka berupaya menyosialisasikan perlindungan temuan bawah air kepada pemerintah daerah dan masyarakat pesisir.

Widiati mengatakan, benda-benda peninggalan bawah air tidak sekadar mempunyai nilai ekonomis, melainkan juga nilai edukatif dan pelestarian. Artinya, kalau benda-benda itu dilarikan ke negara-negara lain, Indonesia tidak lagi memiliki peninggalan bersejarah yang dapat dinikmati dan dipelajari generasi mendatang.

Meskipun benda itu diam, mereka dapat memberikan informasi tentang sejarah perdagangan antarnegara melalui laut, teknologi pembuatan benda, budaya, dan kemajuan suatu negara atau kerajaan. Benda-benda tersebut sekaligus menjadi bukti nyata pelayaran yang pernah dilakukan beberapa bangsa.

”Benda-benda peninggalan bawah air itu termasuk benda cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,” kata Widiati.

Adapun bagi Manguin yang menekuni temuan perahu atau kapal, alat transportasi laut itu merupakan gambaran sebuah bangsa melepas belenggu isolasi samudra, membuka komunikasi, dan berinteraksi dengan bangsa lain. Mereka bertukar pengetahuan, barang, budaya, dan pangan.

Melalui perahu dan kapal, sebuah bangsa membangun politik dan ekonomi maritim. Mereka mengembangkan kekuasaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perdagangan dan aneka hasil laut.

”Dari temuan-temuan yang mengisahkan sejarah dan budaya bangsa-bangsa pelaut, Pemerintah Indonesia seharusnya belajar arti penting laut bagi perkembangan sebuah bangsa, bukan malah menganaktirikan laut,” kata Manguin.
Sumber : Kompas Cetak

Selengkapnya...

Harta Karun di Indonesia


Sejak dahulu kala Indonesia tersohor sebagai negeri maritim. Secara geografis pun letak Indonesia sangat strategis, yakni di jalur persimpangan perniagaan dunia. Tak mengherankan, jika lautan Nusantara banyak menyimpan harta karun dari kapal-kapal abad lampau yang karam.

Dus, pencurian harta karun kerap terjadi, terutama dalam satu dasawarsa terakhir. Perburuan harta karun pun tak kenal musim. Bayangkan, puluhan ribu harta peninggalan masa lampau dijarah dari dasar samudra. Pelakunya tak hanya dari dalam negeri, pihak asing pun turut bermain. Adapun nilai kerugian akibat pencurian itu sangatlah besar, paling tidak mencapai triliunan rupiah. Suatu jumlah yang besar mengingat saat ini Indonesia masih didera krisis.

Harta karun. Mendengar sebutannya saja pasti terbayang seonggok emas, keramik kuno atau benda berharga lainnya. Tentu ini menggiurkan banyak pihak. Tengok saja Kota Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Perairan Bangka Belitungpun strategis karena bertetangga dengan Selat Malaka. Sejak beberapa abad silam, bahkan ribuan tahun lampau selat ini merupakan salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Lantaran itulah, sekitar perairan tersebut, tepatnya di dasar laut diyakini menyimpan banyak harta karun.

Alhasil perdagangan benda-benda yang diangkat dari kapal-kapal karam begitu marak di wilayah barat laut Indonesia ini. Sebut saja jual beli keramik-keramik bernilai historis tinggi. Kota Belitung pun kerap menjadi lokasi pertemuan antara penemu lokasi harta karun dan investor. Kedua pihak biasanya memakai jasa broker atau perantara. Salah satu broker adalah Ali. Ia kerap menjadi penghubung transaksi maupun rencana perburuan harta karun. Itu semua dilakukan di rumahnya.

Di Kota Belitung, geliat perburuan harta karun mulai dari keramik, porselin, patung hingga perhiasan memang sangat mencolok. Di sana terdapat banyak toko tak resmi bebas memperdagangkan benda-benda tersebut. Tak hanya pemain lokalyang memburu harta karun di Belitung. Sejumlah investor besar, juga pernah dan terus memburunya sampai kini.

Itu diakui Adi Agung, salah satu pengusaha pemburu harta karun. Ia mengaku pernah bekerja sama dengan warga Belitung untuk kepentingan eksplorasi harta karun. Namun setelah bekerja selama setahun setengah, pihaknya tak berhasil menemukan banyak benda kuno. Ternyata memang banyak sekali diketemukan lokasi-lokasi [kapal karam]. Tapi isinya sudah tidak ada," papar Adi.

Perairan Belitung, terutama Selat Gelasa dan Selat Gaspar adalah dua tempat yang terkenal di mata pemburu harta karun atau benda muatan kapal tenggelam di dunia. Maklum di perairan ini diperkirakan ada puluhan kapal yang diduga tenggelam pada ratusan tahun silam. Nilainya paling sedikit dapat mencapai puluhan miliar rupiah.

Sayangnya hampir semua perburuan harta karun menyisakan kisah kelam. Mulai dari saling sikut antarpengusaha, konflik kepentingan penguasa hingga hasil penjarahan harta karun yang dibawa ke luar negeri.

Perburuan harta karun di perairan Belitung, bahkan menyeret-nyeret nama-nama besar pemburu harta karun dunia, seperti Michael Hatcher dan Tilman Walterfang. Hatcher, seorang pemburu harta karun kelas kakap dari Autralia berhasil mengangkat lebih dari 400 ribu keramik dari Dinasti Ching (1644-1911) dan membawanya terbang ke balai lelang di Jerman. Dari proyek pengangkatan harta karun kapal Tek Sing ini, Hatcher menangguk untung sekitar 6,5 juta mark Jerman atau setara Rp 32 miliar. Sementara pemerintah Indonesia hanya kebagian 1.400 keping keramik dan Rp 4,2 miliar.

Tak jauh berbeda dengan yang dilakukan Tilman Walterfang. Warga Jerman ini disebut-sebut mengeruk harta karun Kapal Tang Cargo hampir 50 ribu keping artefak. Umumnya berupa keramik asal abad IX Masehi. Nilainya ditaksir mencapai US$ 40 juta. Ironisnya, sebagai pemilik sah, Indonesia hanya kebagian lima persennya saja atau sekitar Rp 22 miliar. Itu pun setelah melalui negosiasi alot. Tilman sukses membawa kabur artefak kuno itu ke Selandia Baru dengan dalih desalinasi atau proses pencucian. Tapiharta karun itu tak pernah kembali ke Bumi Pertiwi.

Dalam penelusuran baru-baru ini, Tim Sigi SCTV menemukan dokumen izin pencucian ke Selandia Baru yang ditandatangani kepala Biro Umum Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan yang saat itu dijabat Handi Yohandi. Pemerintah Indonesia lagi-lagi kecolongan.

Anehnya perhatian serius justru datang dari pihak asing, seperti Peter Schwarts, ahli keramik Cina. Menurut dia, pihaknya sudah berusaha memberitahukan pemerintah Indonesia tentang pencurian harta karun dari lautan di Indonesia. Sayangnya informasi itu tidak mendapat respons.

Di Belitung, Tim Sigi mencoba mengais cerita tentang jejak Tilman. Namun yang ditemukan hanya bungalow yang disebut-sebut bekas base camp Tilman. Penelusuran dilanjutkan ke Pulau Babi. Di pulau yang tak jauh dari Pulau Belitung itu, ditemukan banyak pecahan-pecahan keramik. Dari ciri-ciri pecahan keramik, diduga benda-benda kuno itu berasal dari Dinasti Ching, sekitar abad ke-16 Masehi. Keramik-keramik ini bagian dari muatan Kapal Tek Sing yang dieksplorasi Hatcher.

Eksplorasi harta karun pun dilangsungkan di perairan Cirebon, Jawa Barat. Pengangkatan ini resmi diketahui pihak pemerintah. Kabarnya harta karun tersebut berasal dari muatan kapal kargo abad 10 Masehi. Kapal itu tenggelam dalam perjalanan dari Kerajaan Sriwijaya menuju Singosari. Menurut survei, kapal itu membawa puluhan ribukeramik kuno dan sejumlah lempeng emas. Nilainya ditaksir mencapai US$ 24 juta atau setara Rp 225 miliar.

Februari tahun depan, harta karun dari perairan Cirebon itu akan dilelang di Balai Lelang Christie`s Belanda. Inilah proyek eksplorasi pertama yang oleh pemerintah dipakai sebagai percontohan pengangkatan harta karun sesuai standar. Suatu proses yang baik, tertata dengan baik, accountable, semua pihak tahu baru dirilis tahun ini," jelas Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi.

Pengangkatan harta karun di perairan Cirebon, bukan tak menemui kendala. Sebelumnya, perusahaan pelaksana eksplorasi di perairan Cirebon, yakni PT Paradigma Putra Sejahtera milik Adi Agung, menerima sejumlah tudingan. Di antaranya tuduhan mempekerjakan tenaga asing ilegal. Tak hanya itu, menurut Adi, pihaknya juga dituding melakukan penjualan ilegal dan pencurian. &Kami dituduh melakukan pengangkatan dengan izinyang palsu," tambah Adi.

Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan menyebutkan di perairan Indonesia sedikitnya ada 463 titik tenggelamnya kapal sejak abad XIV hingga XIX. Dari jumlah itu belum banyak yang sudah diangkat dan memberi sumbangan pendapatan negara. Menurut Luc Heyman, investor asing, birokrasi bertele-tele menjadi salah satu kendala mereka. Belum lagi saling sikut di antara mereka yang kerap mewarnai perburuan harta karun di negeri ini.

Salah satu dampaknya, sejumlah tempat harta karun menjadi perburuan tidak resmi antarpencinta benda antik. Hal ini bisa terjadi karena banyak harta karun justru dieksplorasi secara diam-diam oleh penyelam tradisional. Itu diakui Hendro, kolektor keramik. Hendro mengaku beberapa benda koleksinya diperoleh dari para penyelam tradisional yang mendatangi rumahnya.

Perburuan di perairan Bangka Belitung, banyak mengandalkan para penyelam tradisional, terutama para nelayan yang biasa memasang perangkap ikan di dasar laut. Di antaranya Albert dan Beni. Tiga bulan silam, mereka menemukan bangkai kapal di Teluk Gelasa, dekat Kepulauan Bangka Belitung. Kapalyang teronggok di kedalaman 30 meter itu dipenuhi muatan, seperti keramik, porselin hingga senjata. Tim Sigi membuktikan adanya bangkai kapal yang belum jelas asal-muasalnya itu. Di sekitar kapal tersebut ditemukan harta karun berceceran, seperti piring dan botol keramik.

Temuan itu membuktikan bahwa potensi harta karun yang terkubur di dasar lautan Indonesia belum tergarap dengan baik. Tak heran pencurian dan pengangkatan ilegal terus marak. Hal itu diakui Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi. Menurut dia, hampir di seluruh perairanIndonesia, terdapat kapal-kapal yang karam pada beberapa abad silam. Paling banyak terdapat di wilayah paling barat Indonesia. Kita sudah tahu tiap lokasi dan nama jenis kapal ada datanya," kata Freddy.

Freddy mengatakan, terdapat 700 sampai 800 titik harta karun yang potensial untuk diangkat. Namun diakui yang teridentifikasi baru 463 titik. Sampai sekarang lebih kurang sekitar 46 titik yang sudah diangkat atau sekitar 10 persen. "Tapi yang terjual melalui proses pelelangan dengan baik belum ada. Baru direncanakan tahun ini kerja sama dengan [Balai Lelang] Christie`s," tambah dia.

Freddy mengatakan, pengelolaan harta karun dari kapal karam tidak berjalan baik karena maraknya pencurian tersebut. Jika sudah terkena kasus pencurian, barang itu akan anjlok di pasaran. Seperi pengangkatan di Pulau Buaya oleh perusahaan milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Karena terkena kasus pencurian, harga benda-benda yang diangkat anjlok. Barang-barang seperti itu jumlahnya banyak. Ada ribuan potong yang tersimpan di beberapa tempat. Akhirnya diberikan ke museum," jelas Freddy.

Untuk ke depan, Freddy mengatakan, tak menutup kemungkinan pemerintah bekerja sama dengan pihak asing, seperti pemburu harta karun sekelas Hatcher. Tentunya harus melalui izin atau proses yang benar.

Sepanjang waktu perdagangan harta karun memang tak pernah sepi. Maklum, beratus atau beribu tahun lampau, lebih dari 450 kapal bermuatan dikabarkan terkubur di dasar lautan Indonesia.

Namun harta karun itu bukanlah harta tak bertuan. Sepanjang berada di wilayah kekuasaan Indonesia, berapa pun nilai ekonomi dan sejarahnya, tetap itu milik negara. Pengangkatan harta karun secara ilegal oleh siapa pun semestinya tak boleh terjadi lagi. Dan, lebih bijaksana pula, pemerintah segera menyiapkan jurus ampuh" menangkal penjarahan tersebut.

http://www.liputan6.com

Selengkapnya...

Setelah de geldermalsen dilelang


Kisah harta karun dari kapal de geldermalsen yang dilelang, makin hangat. balai pelelangan christie setelah melelang harta tersebut menjadi terkenal. timbul reaksi setelah pelelangan harta itu.
KISAH harta karun De Geldermalsen tampaknya akan semakin hangat. Bukan karena tim yang dibentuk pemerintah untuk meneliti lokasi harta karun itu sudah makan korban seorang peneliti hilang, melainkan juga karena pekan lalu baru saja berakhir penjualan barang-barang itu di London.

Ini terjadi di Super Store Harrods, sebuah pertokoan eksklusif terbesar di kota itu. Dengan disorot cahaya lampu yang terang benderang, tampak barang-barang antik yang berupa porselen Cina itu semakm menggiurkan, meskipun harganya sangat menjulang. Bayangkan, porselen yang paling murah, berupa piring, mangkuk, pot bunga, dan cangkir kecil, ditawarkan dengan harga tidak kurang dari œ 35, atau sekitar Rp 60 ribu. Sementara itu, sebuah mangkuk besar, teronggok di sebuah sudut, dengan harga penawaran œ 30 ribu, atau Rp 51 juta.

Memang, belum bisa dipastikan berapa Harrods akan memperoleh hasil penjualan dan laba dari barang-barang ini. Sebab, lelang besar kedua baru akan dilakukannya di New York sekitar 15 September, Senin depan. Begitu juga hasil penjualan yang telah dilakukan di London itu, yang diduga telah terjual sekitar 50% hingga Sabtu pekan lalu, belum diketahui jumlahnya. "Kami belum melakukan perhitungan," kilah Mr. Morrison, panitia penyelenggara pelelangan Harrods, kepada Adi Pradhana dari TEMPO, Sabtu pekan lalu.

Tapi yang jelas, seperti diakui Morrison, pihak Harrods sendiri membeli porselen-porselen antik itu dari arena lelang, House of Christie di Amsterdam, bulan Mei lalu, seharga œ 1,3 juta (Rp 2,25 milyar).

Anehnya, sikap Harrods ternyata lebih parah dari sikap Michael Hatcher, si penemu harta karun, yang menyebutkan penemuannya diperoleh dari perairan internasional. Coba saja, Harrods berlagak seolah-olah tidak tahu-menahu bahwa barang yang dibelinya tersangkut kasus internasional. Padahal, itu sudah tersiar sejak awal 1986.

"Saya benar-benar kaget, jika barang-barang ini benar hasil curian," ujar Morrison. Alasannya, pengangkatan barang dari dasar laut tentu akan memakan waktu yang cukup panjang. "Nah, kenapa pemerintah RI tidak melarang Hatcher waktu melakukan penggalian," katanya lebih lanjut, "Kami membeli dengan sah dari sebuah lelang yang dilakukan di muka umum," ucap Morrison.

Harrods sendiri mempromosikan penjualan harta karun yang dibeli dari pusat lelang di Amsterdam itu dengan cerdik. Sebelum penjualan dimulai 22 Agustus lalu, Harrods menawarkan dagangannya itu dengan sebutan: Nanking Cargo. Dan dengan memanfaatkan ribut-ribut di media massa yang mempersoalkan status dan lokasi harta karun itu, dalam iklan di International Herald Tribune, Harrods mengiklankan: "Pameran spektakuler di tengah perdebatan letak tenggelamnya kapal itu."

Barang yang dijual Harrods, London, memang barang yang dibelinya dari pusat lelang di Amsterdam. Dan balai lelang terkenal di Belanda itu mengaku bisa menjual barang-barang itu karena pemerintah Indonesia dengan batas waktu tertentu tak mampu memberi jawaban segera tentang: apakah lokasi harta karun itu di perairan Indonesia atau termasuk perairan internasional. Sekalipun kemudian Indonesia bisa membuktikan Geldermalsen berada pada posisi 00ø 36' 25" U-105ø 08' 50"T, yang termasuk wilayah perairan Indonesia.

Pembuktian ini memang terlambat karena Balai Lelang Christie, setelah Nanking Cargo habis terjual, berhasil memperoleh nilai US$ 15 juta, atau sekitar Rp 16,6 milyar. "Saya rasa tak perlu mengomentari lagi, karena sudah banyak ditulis di media massa," kata Harts Nijtstad, pimpinan Christie, kepada Sapta Adiguna dari TEMPO.

Menurut Harts, selain memperoleh komisi 12,5% dari harga barang De Geldermalsen yang terjual, balai lelangnya mendapatkan hikmah lain dengan hebohnya harta yang telah terjual itu. Sebab, ternyata, kehebohan tersebut telah membuat Christie menjadi lebih terkenal, dan mengalami pelonjakan omset yang cukup besar. Bayangkan, hanya dengan melakukan beberapa lelang kecil, ditambah lelang Nanking Cargo itu, omset Christie satu semester sudah melebihi omset yang diperolehnya tahun lalu.

Dengan 60 kantor cabang yang tersebar di 24 negara, balai lelang yang didirikan James Christie pada 1766 ini memang bukan hanya merupakan balai tertua. Tapi juga termasuk balai lelang yang besar di dunia, dengan rekor-rekor nilai lelang yang sulit dilampaui. Tapi harga beberapa barang De Geldermalsen tampaknya tetap termasuk dalam kategori nilai tertinggi. Contohnya 33 perangkat makanan porselen berwarna biru-putih, terjual di hari pertama dengan harga 1,4 juta gulden. "Ini merupakan rekor penjualan perangkat makanan yang tertinggi," ujar Harts. Padahal, sebuah piala raksasa yang memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi, karena berasal dari koleksi Louis XV, hanya dijual Christie dengan harga 524 ribu gulden pada 1981. Juga lukisan karya Jan Gossaert van Mabuse dilepas 855 ribu gulden.

Patut, memang, kalau Christie bisa mencapai prestasi seperti itu. Sebab, dalam prakteknya, balai lelang ini memang sangat memperhatikan kepuasan para pembelinya. Misalnya untuk melakukan pengamanan kualitas barang yang akan dilelang, seorang penjual diharuskan mengirimkan barangnya seminggu sebelum acara lelang. Itu pun dilakukan, setelah dua minggu sebelumnya si pemilik barang mengirimkan katalog, sebagai bahan penelitian awal. Baru setelah itu, para ahli benda-benda kuno berdiskusi menentukan harga jual.

Sedangkan untuk menarik para pembelinya, Christie selain mengirimkan katalog-katalog tersebut juga memasang iklan di banyak negara. Pembeli yang tida bisa hadir cukup mengirimkan surat penawaran melalui pos. Dan jika pembeli itu menang, hasil lelang diantar sampai ke alamat dengan jaminan asuransi. Soal keaslian barang, pembeli tidak perlu merasa ragu. "Dalam waktu 21 hari setelah barang diterima, jika kemudian terbukti barang itu palsu, ia bisa menghubungi kami untuk mendapatkan kembali uangnya," ujar Harts.

Dari aturan jual beli yang diterapkan, tampaknya status hukum barang itu tidak mendapat perhatian yang khusus. Tentang barang-barang De Geldermalsen Harts tetap menatakan: Harta karun itu berada di peralran internasional. Padahal, setelah pelelangan berlangsung, beberapa waktu lalu Michael Hatcher, bersama dengan dua rekan menyelamnya, C.H.R. Jorg dan Max De Rham, sempat mendatangi Museum Arsip Belanda. Dari sana mereka akhirnya menjadi lebih yakin, De Geldermalsen berada di wilayah perairan Indonesia.

Hatcher, yang dilahirkan di Inggris pada 1939, memang tipe orang yang memiliki kegigihan lumayan. Terbukti dengan awal pengembaraan yang dilakukannya ke Australia, ketika ia menjadi yatim piatu pada usia 13 tahun. Anak dr. Bernado ini juga memiliki ambisi untuk menjadi seorang kaya. Itulah sebabnya, ketika Hatcher sudah memiliki pekerjaan sebagai pedagang alat pembakaran daging, ia tetap melakukan hobinya sebagai penyelam. Yang belakangan baru diketahui, ternyata, menyelam baginya bukan hanya sekadar hobi, tapi juga alat untuk mencapai cita-cita.

Yakin dengan kemampuannya, pada 1966 Hatcher melepaskan usaha pokoknya sebagai pedagang. Dibelinya sebuah kapal, dan bersama lima anak buahnya ia berlayar menuju Kepulauan Pasifik Selatan. Namun, usaha barunya yang lebih banyak bersifat spekulatif ini, rupanya, tidak dengan begitu saja mendatangkan untung. Hingga 1980, tak ada hasil yang berarti diperolehnya.

Sukses baru bisa diraih ketika Hatcher mendapat sponsor penyelaman dari Soo Hin Ong, seorang pengusaha dari Singapura. Itu terjadi pada 1981, dan pada tahun itu juga, ia melakukan penyelaman di perairan yang berjarak 325 km dari pantai Malaysia selatan. Yang terakhir, daerah ini juga ternyata termasuk ke dalam wilayah Indonesia. Dari sini ia berhasil mengangkat 23 ribu keramik porselen, yang kemudian dilelangnya di Balai Christie pada awal 1984, dengan harga US$ 2,3 juta.

Hasil yang cukup besar itu, rupanya, tidak membuat Hatcher puas. Selain telah mendapatkan bagian dari hasil penjualan bersama itu, juga mendapatkan keuntungan 1,2 juta gulden dari penjualan porselen yang merupakan haknya sebagai pemimpin ekspedisi. Setelah penjualan yang terakhir itu, Hatcher bergegas kembali ke daerah sekitar lokasi ditemukannya keramik-keramik tadi. Akhirnya sampai di perairan antara Pulau Mapur dan Pulau Merapas, termasuk Kecamatan Bintan Timur, Riau, yang merendam Geldermalsen beserta seluruh harta karunnya selama 234 tahun.

De Geldermalsen sendiri, yang dibuat oleh Cabang VOC di Zeeland pada 1748, merupakan kapal terbesar pada zaman itu. Seperti yang diceritakan oleh Profesor Jaap Bruyn, 48, ahli sejarah maritim, di Universitas Leiden kepada TEMPO, Geldermalsen memiliki panjang 15 meter, lebar 12 meter, dan bobot mati 12 ribu ton. Konon, ketika tenggelam pada 3 Januari 1752, kapal itu dinakodai oleh Jan Dideric Moreil. Pelayaran perdananya yang diarahkan ke Cina memang bertujuan mencari teh, sutera, dan emas untuk dijual ke Eropa.

Dari ketiga macam muatan itu, muatan yang termahal adalah sutera dengan rencana penjualan ke Eropa. Muatan termahal kedua, yakni 225 batang emas, direncanakan akan dijual ke India. Sebab, konon, ketika itu harga emas di India sedang bagus-bagusnya. Sedangkan 150 ribu barang pecah belah buatan Cina, yang ketika itu belum termasuk antik, sengaja dibawa Geldermalsen untuk menjaga keseimbangan kapal. Nah, ketika dalam perjalanan dari Cina ke Eropa itulah, kapal yang muatannya ketika itu ditaksir satu juta gulden tenggelam di perairan sedalam 40 meter, dengan 100 awak.

Meskipun bisa bercerita panjang tentang Geldermalsen, Jaap Bruyn sendiri tidak berani menyebutkan, di wilayah siapa lokasi tenggelamnya kapal itu. "Seharusnya itu ditanyakan pada pemerintah Indonesia," katanya. Bahkan sebaliknya, Jaap Bruyn merasa heran, kenapa pemerintah Indonesia baru meributkan hal itu setelah lelang selesai. "Padahal, jauh sebelum pelelangan itu dilakukan, media massa internasional sudah menyiarkan berita penemuan itu secara besar-besaran."

Wajar kalau Jaap Bruyn lantas sangat tertarik pada penemuan Hatcher itu. Sebab, ternyata, Jaap Bruyn juga pernah sekali berjumpa dengan Hatcher, di Museum Arsip Nasional. Menurut dia, penyelam itu tidak hanya tangguh tapi juga cerdik. Contohnya, ketika menawarkan penemuannya pada Balai Lelang, Hatcher menyebutkan barang-barang itu ditemukannya di sebuah kapal Nanking. Tapi ketika pemerintah Belanda menggertak akan mengklaimnya, baru ia mengaku, bahwa kapal itu adalah De Geldermalsen. "Tapi dengan embel-embel, bahwa itu ditemukannya di perairan internasional," tutur Jaap Bruyn.

Lain Jaap Bruyn, tentunya lain juga pendapat Te.B. Oekhorst, juru bicara Kementerian Luar Negeri Belanda. Ketika posisi tepat dari lokasi karamnya De Geldermalsen belum : ditemukan, Oekhorst tetap berpendirian lokasi itu berada di perairan internasional. Bahkan ketika Hatcher baru tuntas mengangkut hasil jarahannya, pihak Belanda dengan tenang mengirimkan surat pemberitahuan pada pemerintah Indonesia untuk menegaskan pendiriannya. Tapi ketika itu, sempat juga terlontar imbauan dari Oekhorst, "Jika Indonesia hendak mengadakan tuntutan, ya, pada pemerintah Belanda."

Tak jelas adakah tantangan Oekhorst itu bakal dijawab pemerintah Indonesia. Yang jelas, setelah tim yang menyelidiki lokasi harta karun itu menyelesaikan tugasnya sampai pekan lalu belum ada pernyataan itu dari pemerintah Indonesia.

Budi Kusumah, Laporan: Adi Pradhana (London) & Sapta Adiguna (Paris)

Selengkapnya...

Harta karun dari dasar heloputan hilangnya penyelidik harta karun


Harta karun di kapal voc yang tenggelam, terlanjur dilelang michael hatcher. tim yang dipimpin lopa, memastikan harta itu berada di perairan indonesia. santoso pribadi, anggota tim peneliti hilang.
SANTOSO Pribadi, alias Ucok, hingga kini belum muncul ke permukaan laut -- belum ketahuan hidup atau mati. Tubuh peneliti arkeologi bawah laut itu, bahkan sampai kini, belum ditemukan. Jasadnya, boleh jadi, rusak sudah digerayangi hewan ganas, ikan hiu misalnya.

Entahlah. Tak seorang pun tahu pasti. Yang terang ialah, setelah sebelas hari tim SAR bekerja, akhirnya, pencarian tak diteruskan. Tim SAR pun dibubarkan. Keputusan itu ditetapkan di Tanjung Uban, Pulau Bintan, sekitar 100 km dari Tanjungpinang, Riau, 6 September pekan lalu. Mengapa jasad Ucok begitu sulit ditemukan? Betulkah arus dan angin yang deras telah menghanyutkan korban menjauh dari lokasi semula? Betulkah ia tersangkut di suatu karang? Bahkan beredar pula dugaan, Santoso telah "dihabisi" oleh oknum tertentu. Betulkah?

Sejumlah pertanyaan memang layak timbul. Sebab, 25 Agustus, ketika peristiwa nahas itu terjadi, sesungguhnya, kerja tim dengan Santoso sebagai anggota dapat dianggap usai. Sebab, apa yang dicari oleh tim itu sudah dapat ditemukan. Toh, penyelaman terus dilakukan, dan baru dinyatakan selesai justru setelah Santoso, 33, tenggelam, dan tak muncul kembali.

Seperti diketahui, tim peneliti itu dibentuk oleh Menteri Kehakiman, 19 Agustus lalu. Inilah tim antardepartemen, yang diketuai oleh Prof. Dr. Baharuddin Lopa, dan koordinasi lapangan di laut dipimpin oleh Laksamana TNI Anwar Affandi. Santoso Pribadi sendiri adalah anggota tim yang berasal dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Ditjen Kebudayaan. Ia memang seorang dari sedikit ahli arkeologi bawah laut.

Dan keahliannya, tentu, sangat diperlukan dalam tim itu. Sebab, inilah tim yang dibentuk setelah heboh perkara harta karun, yang digaruk oleh Michael Hatcher, tempo hari. Seperti diketahui, sekitar 160 ribu barang pecah belah antik buatan Cina, serta 225 batang emas lantakan, ditemukan Hatcher di kapal De Geldermalsen milik VOC, yang katanya tenggelam di perairan antara Pulau Mapur dan Merapas 234 tahun silam. Harta karun itulah yang kemudian dijual di Balai Pelelangan Christie di Amsterdam, Mei lalu, yang secara total menghasilkan US$ 15 juta, atau sekitar Rp 16,6 milyar. Suatu jumlah yang mengagetkan karena itu berarti, lebih dari separuh APBD Provinsi Daerah Istimewa Yogya yang jumlahnya sekitar Rp 30 milyar.

Hatcher sendiri menyebut harta karun itu ditemukannya di perairan internasional. Te B. Oekhost, juru bicara Kementerian Luar Negeri Belanda, juga berpendapat, De Geldermalsen tenggelam di perairan internasional. Tapi betulkah?

Inilah sebenarnya pangkal masalah. Ketidaktegasan justru berasal dari pihak Indonesia sendiri. Menurut Oekhost, pada Sapta Adiguna dari TEMPO, dalam wawancara di Negeri Belanda, pihak Indonesia, jauh hari sebelum lelang dilaksanakan, telah mendapat pemberitahuan. Tapi, Deparlu RI rupanya belum mempunyai bukti bahwa harta karun itu ditemukan di perairan Indonesia. Karenanya, Deparlu lantas meminta konfirmasi dari Departemen Dalam Negeri.

Pihak Depdagri, ternyata, juga tak dapat memastikan di manakah harta karun itu digaruk. Maka, agar akurat, perlu penelitian. Untuk itu, pihak Deparlu lantas meminta pada Belanda agar pelaksanaan lelang ditunda tiga bulan. Indonesia toh tak memiliki catatan ihwal posisi kapal-kapal dagang VOC yang tenggelam di masa lalu. Dan, berakhirlah masa tiga bulan yang diminta. Begitulah, harta karun itu pun akhirnya dilelang.

Setelah lelang terjadi, heboh pun pecah. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang kemudian menugasi Menteri Mochtar Kusumaatmadja, untuk menyelesaikan perkara harta karun itu. Kepada pers, bulan Juli lalu, Menlu, yang ahli hukum laut internasional itu, berkata, perlu penelitian apakah ada dasarnya bagi Indonesia untuk mengklaim harta karun itu. Untuk itu, "Banyak instansi tersangkut, dan penyelesaiannya harus dilakukan secara terpadu," kata Menlu Mochtar.

Tim peneliti terpadu, dengan anggota antara lain Santoso Pribadi, itulah yang kemudian dibentuk oleh Menteri Kehakiman. "Tim hanya ditugasi untuk mencari dan menentukan lokasi, di koordinat mana harta karun yang diributkan itu ditemukan," kata Ketua Tim Baharuddin Lopa.

Menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, tim bertugas di perairan Riau, yakni di sekitar Pulau Mapur, Pulau Kayu Ara, Pulau Marapas, dan karan Heloputan. Upaya menentukan koordinat yang pasti, tempat harta karun itu "dijarah", dimulai 1 Agustus lalu. Selain kapal patroli Bea Cukai, tim menggunakan kapal survei Bima Saki milik Ditjen Perla. Kapal survei ini memiliki peralatan navigasi yang lengkap dan modern.

Santoso sebenarnya hanyalah penyelam pendukung. Bahkan Menteri Ismail, menyebutnya, berstatus penyelam cadangan, "yang mungkin kurang berpengalaman". Dalam operasi itu, ada enam orang penyelam profesional dari Ditjen Perla yang mendampinginya. Di antaranya, Kiman Shun, Hermanto, dan Joko Susanto.

Tim tiba di perairan Piau 21 Agustus. Esoknya, pencarian situs pertama dilakukan di perairan Kayu Ara. Upaya ini dilakukan oleh tiga penyelam profesional dari Ditjen Perla. Memang, adalah menjadi kewajiban, menyelam berbarengan tiga orang. Ucok tak ikut menyelam. Setelah menyelam sekitar 30 menit, ketiganya muncul di permukaan. Hasilnya? Nihil.

Meski upaya mencari belum optimum, hanya sekitar setengah jam, entah mengapa, tim memutuskan berpindah lokasi, 22 Agustus itu juga. Tim hengkang ke daerah karang Heloputan. Di sini, kembali tiga penyelam profesional dari Ditjen Perla turun ke dasar laut. Berkali-kali penyelam itu diterjunkan, toh tak menghasilkan apa-apa.

Usaha pencarian itu dilanjutkan hingga Minggu, 24 Agustus. Begitulah, selama tiga hari itu, para penyelam profesional dari Subdirektorat Salvage dan Pekerjaan Bawah Air, Direktorat Jasa Maritim, gagal menemukan sedikit pun tanda-tanda berhasil.

Tim makan siang di KM Bima Sakti. Santoso Pribadi lantas memutuskan turut menyelam. Begitulah, pada pukul 13.55, Santoso, Hermanto, dan Joko terjun lewat buritan kapal. Mereka menyelam pada kedalaman 35 meter. Pukul 14.10, ketiga penyelam muncul dengan membawa sembilan mangkuk putih, dan 17 pecahan piring buatan Cina. "Santoso sendirilah yang kemudian mencuci barang-barang itu," kata Letkol (Pol.) A. Latuihamallo, Kadit Intelpampol Polda Riau, pada Agus Basri dari TEMPO.

Tanda-tanda menggembirakan mulai tampak. Bahkan, pada penyelaman yang pertama itu, Santoso mengatakan ia melihat jangkar kapal di dasar laut. Ia juga melihat sebuah meriam yang penuh dengan karang. Dan, malam harinya, arkeolog lulusan UI (1983) itu membuat skesta yang melukiskan keadaan dasar laut.

Dan tibalah hari nahas, 25 Agustus. Santoso kembali turut menyelam dengan pasangan yang sama dengan hari sebelumnya. "Saya sempat memesan pada Santoso, agar dibawakan segenggam pasir dan sebuah karang dari dasar laut," ujar Latuihamallo. Ucok, yang hari itu mengenakan celana abu-abu, bersama Hermanto, berhasil mengikat jangkar yang dilihatnya. Juga meriam itu.

Setelah mengikat jangkar dan meriam itu, penyelam itu kembali muncul ke permukaan. Ternyata, Santoso kembali membawa temuan baru. Ayah seorang anak berusia sekitar setahun itu datang membawa sebuah mangkuk kecil, sebuah piring pecah, dan sebongkah batu bata. Dan yang mengagetkan, ia juga membawa pesanan Latuihamallo. "Santoso memberikan pesanan saya, dengan wajah berseri-seri," kata Latuihamallo.

Semua barang itu ditemukan Santoso dari kerangka kapal yang tenggelam. Penelitian kemudian membuktikan, seperti diungkapkan Menteri Ismail Saleh, barang-barang pecah belah itu buatan Cina dari Dinasti Ming. Bahkan barang-barang kuno yang ditemukan itu, ternyata, sejenis dan seumur dengan barang-barang kuno yang dijual Michael Hatcher.

Hujan pun turun 25 Agustus siang. Angin keras. Gelombang besar. Langit diselimuti awan gelap. Para penyelam pun beristirahat. Tapl, sekitar pukul 13.00, cuaca terang benderang. Laut seakan tak berombak. Santoso kembali berniat mcnyelam. Ia tampak menggebugebu. Begitulah, 37 menit kemudian, setelah hujan reda, Santoso kembali menyelam. Kali ini, ia sendirian saja.

"Semangatnya memang tangguh," kata Salam Herwanto, Kadit Sospol Provinsi Riau, salah seorang anggota tim pada Bersihar Lubis dari TEMPO. Tapi, sepuluh menit berlalu Ucok toh tak muncul. Baru dua puluh menit kemudian, tepat di atas lokasi harta karun, muncul gelembung-gelembung yang seakan membelah permukaan laut. Di kejauhan tampak tubuh Santoso sekelebatan, dan kemudian menghilang lagi, dan tak pernah muncul kembali.

Menurut Dirjen Habibie, itulah yang keempat kali Santoso menyelam. Total, tim itu telah melakukan 13 kali penyelaman di berbagai spot. Tercatat Hermanto dua kali menyelam, Joko Susanto lima kali, dan Kiman Kihun enam kali.

Kiman, memang, salah seorang penyelam dari Ditjen Perla, yang tergolong senior. Adalah Kiman, yang kemudian menyadari setelah dua puluh menit tak kunjung muncul -- ada sesuatu yang tak beres pada Santoso. Ia lantas segera menyelam. Tapi sepuluh menit kemudian, ia muncul tanpa hasil. "Tak terlihat sama sekali," komentarnya dengan napas mendengus satu-satu karena kelelahan.

Musibah telah terjadi. Operasi pun dihentikan. "Saya segera mengirim berita ke Kapolres Tanjungpinang. Saya meminta agar para nelayan dengan perahu-perahunya dikerahkan," kata Latuihamallo. Di musim angin yang ganas seperti itu, biasanya nelayan enggan melaut. Toh mereka berdatangan hendak membantu. Sementara itu, tim SAR pun dikerahkan pula. Kapal dan helikopter milik ALRI, juga KRI Teluk Semangka, datang ke lokasi. Tapi, hingga 6 September lalu, Santoso tak kunjung ditemukan. Operasi pencarian pun lantas dihentikan.

Mengapa malapetaka itu sampai terjadi? Bukankah Ucok, anak Laksamana Muda (pur) itu, tergolong pandai berenang dan menyelam? Sejak di sekolah dasar, Ucok telah gemar olah raga di perairan, seperti ski air. Bahkan, di kala SMA, ia aktif di olah raga menyelam. "Kami sekeluarga memang menyukai olah raga ski air," kata Diah, salah seorang dari adik Santoso pada Yusroni dari TEMPO .

Tak hanya itu. Ucok, dengan tinggi sekitar 170 cm, dan berat 65 kg, pernah pula dilatih di bidang arkeologi dasar laut di Muangthai. Inilah program SPAFA (Seameo Project in Archeology and Fine Arts). Pertama pada 1985, untuk tingkat dasar. Kedua kali pada 1986, untuk tingkat lanjut (advanced). "Ia mendapat pengakuan sebagai peserta terbaik dari pemerintah Muangthai," kata sebuah sumber pada Syatrya Utama dari TEMPO. "Ia juga mendapat pengakuan untuk penyelaman dengan kedalaman 40 meter di bawah permukaan laut."

Menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, kesehatan Santoso ketika operasi penyelaman dilakukan baik. Menteri juga menyebut bahwa Ucok pernah dididik di Muangthai selama enam bulan, dengan kemampuan menyelam kedalaman 30 meter,"tapi mungkin kurang berpengalaman."

Apa pun, toh ada yang mempersoalkan, mengapa anggota tim lainnya membiarkan Santoso pergi menyelam seorang diri. Adakah semacam kesengajaan dalam musibah itu ? Mungkinkah karena iri hati para penyelam profesional dari Ditjen Perla -- yang ternyata "tak berhasil" menemukan posisi kapal tempat harta karun itu?

Soalnya, sebelum tim itu dibentuk oleh Menkeh pada 19 Agustus, telah datang sebuah kapal swasta ke perairan Riau. Itulah kapal KM Rader, milik PT Sac Nusantara. Kapal berbobot mati 5.945 ton itu, sejak 25 Juni hingga 8 Juli, telah lebih dulu mengaduk-aduk perairan sekitar 60 mil dari Tanjungpinang. Dipimpin Nakoda Rafles, kapal itu menurunkan empat orang penyelam, juga dengan tujuan mencari lokasi kapal VOC, dan harta karun seperti yang dijarah Hatcher. Dalam ekspedisi ini, penyelaman itu dipimpin oleh David Bernet, dan juga diawasi oleh Kiman Sehun dari Direktorat Jasa Maritim, Ditjen Perla. Kiman inilah pula yang kemudian menjadi penyelam dalam tim yang dibentuk Menkeh, dan yang diketuai Baharuddin Lopa.

Selama 13 hari beroperasi, KM Rader juga menemukan ratusan pecahan piring dan mangkuk, yang juga diperkirakan berasal dari masa Dinasti Ching. Kepala Ditsospol Provinsi Riau, Salam Herwanto, pada 4 Juli silam, sempat memerintahkan agar kapal itu diseret ke Tanjungpinang. Kapal itu semula diduga beroperasi tanpa izin. Setelah diperiksa, ternyata kapal itu telak melapor ke syahbandar. Bahkan operasinya di bawah pengawasan Direktorat Jasa Maritim.

Kepada polisi, David Bernet, penyelam asal Selandia Baru, mengatakan, melihat tanda-tanda ada tiga bangkai kapal. Salah satu di antaranya adalah De Geldermalsen, kapal milik VOC yang tenggelam pada awal 1752. Dua kapal lainnya, diduga kapal perang, juga milik VOC. Ketiga bangkai kapal itu berada pada koordinat 00ø 57' 09" Lintang Utara, 105 10' 22" Bujur Timur. Bandingkanlah hasilnya, dengan koordinat yang ditemukan oleh tim resmi yang dipimpin Lopa: 00ø 36' 25" Lintang Utara, 105ø 08' 50" Bujur Timur.

Mengapa sebuah perusahaan kapal swasta, dengan penyelam dipimpin orang asing, diberi izin beroperasi, justru setelah heboh harta karun mencuat di permukaan? Dan diawasi sendiri oleh Direktorat Jasa Maritim? Pertanyaan itu bisa diperpanjang terutama mengingat sebelumnya telah ada pertemuan resmi antara pihak Direktorat Jasa Maritim Ditjen Perla dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Ditjen Kebudayaan. Dari yang terakhir ini hadir sang direktur sendiri, Uka Tjandrasasmita -- atasan Almarhum Santoso Pribadi. Pertemuan pada 15 April 1986 itu justru berlangsung di ruang kerja Kepala Direktorat Jasa Maritim.

Kolonel (L) Saman Abdullah, Kasubdi Salvage dan Pekerjaan Bawah Air, Ditjen Perla, dengan tenang menunjukkan surat izin operasi bagi KM Rader milik PT Sac Nusantara. "Sac Nusantara tidak bersalah," katanya pada Mohamad Cholid dan Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. "Kapal Rader itu tidak ada kaitannya dengan pencurian harta karun di Riau. Kami yang menginstruksikan agar KM Rader mengambil sample dan mengecek koordinat tempat ditemukannya harta karun itu," tambahnya. Kapal ini tergolong modern dengan peralatan navigasi yang lengkap. Ada alat deteksi dasar laut, yang juga dilengkapi dengan robot. Robot inilah yang diturunkan ke bawah air, seraya membawa kamera. Dan, lewat kamera inilah dapat dipantau keadaan dasar laut pada luas tertentu. Akhirnya, KM Rader itu memang mendapatkan sample yang dimaksud. "Beberapa sample berupa piring antik telah diserahkan pada Direktorat Purbakala," tambah Saman Abdullah.

Di tempat terpisah, kepada dua wartawan yang sama, Dirjen Perla JE. Habibie tsnus terang bilang? "Izin itu telah disalahgunahan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab." Katanya kemudian melalui telepon, "PT Sac Nusantara mendapatkan izin atas permohonan sendiri, untuk melakukan salvaging. Bahwa izin itu telah dibelokkan, saya tidak tahu." Dan kembali Dirjen menegaskan, tidak benar ada pihak swasta yang ditugasi mengecek koordinat tempat harta karun itu ditemukan.

Toh pertanyaan tetap mengganjal. Menurut suatu sumber, atas permintaan Baharuddin Lopa, ketiga penyelam dari Ditjen Perla memang telah diperiksa. Tak jelas apa hasil pemeriksaan itu. Kiman Sehun sendiri tak bersedia memberi komentar. "Saya diinstruksikan oleh atasan saya, agar tidak memberi keterangan," katanya pada Riya Sesana dari TEMPO.

Dirjen Perla Habibie berpendapat, Santoso Pribadi meninggal, "karena kecelakaan biasa, sesuatu yang mungkin saja terjadi." Tapi ia membantah bahwa itu terjadi karena pengamanan yang tak beres. "Semua prosedur untuk penyelaman telah dilakukan," ujarnya. Santoso tak hanya diperiksa kesehatannya yang, ternyata, beres. Tapi, semua perlengkapan yang dibawanya untuk menyelam juga lebih dulu diperiksa. Yakni, antara lain, tabung oksigen, regulator, sepatu but untuk menyelam, sepatu katak (fins), masker, pelampung yang bekerja otomatis, serta kompas.

Ada yang menduga Santoso tewas karena kehabisan oksigen. Tapi itu pun dibantah. Ucok memanggul tabung yang berisi 8 liter oksigen. "Paling tidak, cukup bagi penyelam bertahan selama 88 menit di bawah air," kata Saman Abdullah.

Lalu, apa yang menyebabkan Santoso tak muncul kembali? Adakah sindikat tertentu yang menghabisinya? "Itu tak mungkin terjadi," kata Kadit Intelpampol Polda Riau, Letkol A. Latuihamallo. "Semua areal di sekitar daerah penyelaman dikawal ketat," katanya.

Latuihamallo lebih melihat hilangnya Santoso, karena disikat ikan hiu. Tapi tak sedikit orang yang menyesalkan mengapa tim Lopa itu terjun di bulan Agustus. Sebab, inilah masa ketika angin barat dan selatan bertindak dahsyat, membangkitkan gelombang dan arus laut.

Musibah telah terjadi. Hilangnya Santoso masih diselimuti misteri. Juga, masihkah misteri, ihwal hilangnya harta karun itu sendiri. Seberapa besar peranan Gimin Bachtiar? Betulkah ia tokoh yang membantu Michael Hatcher? Siapa lelaki ini? Pada Gimin, yang hingga kini masih diperiksa yang berwajib inilah -- berbagai kunci penjarahan harta karun di kapal VOC itu bergantung jawabannya (lihat Gimin, Pensiunan Mantri Polisi.)

Yang kini sudah pasti ialah bahwa pemerintah telah dapat memastikan: Harta karun itu memang terdapat di wilayah perairan Indonesia. "Kami telah memastikan, harta karun yang dicuri Hatcher itu berada di titik koordinat yang jelas-jelas berada di wilayah Indonesia," kata Lopa. Berapa mil tepatnya? "Hampir berada di perbatasan antara wilayah hukum RI dan perairan internasional. Tapi masih kurang 12 mil dari batas pantai perairan internasional."

Belum jelas benar apakah pemerintah RI akan mengklaim harta karun yang digaruk Hatcher dan sudah pula dilelang itu. Tapi Habibie menduga bahwa ada kerja sama antara Gimin Bachtiar dan Michael Hatcher. Dan, dengan cepat sang dirjen mengatakan, "Jangankan di laut, sedangkan di darat saja sulit mengawasi pencurian," katanya.

Saur Hutabarat, Laporan Biro Jakarta & Medan
Selengkapnya...

 
© free template by Blogspot tutorial