Minggu, 25 Oktober 2009

Harta karun dari dasar heloputan hilangnya penyelidik harta karun


Harta karun di kapal voc yang tenggelam, terlanjur dilelang michael hatcher. tim yang dipimpin lopa, memastikan harta itu berada di perairan indonesia. santoso pribadi, anggota tim peneliti hilang.
SANTOSO Pribadi, alias Ucok, hingga kini belum muncul ke permukaan laut -- belum ketahuan hidup atau mati. Tubuh peneliti arkeologi bawah laut itu, bahkan sampai kini, belum ditemukan. Jasadnya, boleh jadi, rusak sudah digerayangi hewan ganas, ikan hiu misalnya.

Entahlah. Tak seorang pun tahu pasti. Yang terang ialah, setelah sebelas hari tim SAR bekerja, akhirnya, pencarian tak diteruskan. Tim SAR pun dibubarkan. Keputusan itu ditetapkan di Tanjung Uban, Pulau Bintan, sekitar 100 km dari Tanjungpinang, Riau, 6 September pekan lalu. Mengapa jasad Ucok begitu sulit ditemukan? Betulkah arus dan angin yang deras telah menghanyutkan korban menjauh dari lokasi semula? Betulkah ia tersangkut di suatu karang? Bahkan beredar pula dugaan, Santoso telah "dihabisi" oleh oknum tertentu. Betulkah?

Sejumlah pertanyaan memang layak timbul. Sebab, 25 Agustus, ketika peristiwa nahas itu terjadi, sesungguhnya, kerja tim dengan Santoso sebagai anggota dapat dianggap usai. Sebab, apa yang dicari oleh tim itu sudah dapat ditemukan. Toh, penyelaman terus dilakukan, dan baru dinyatakan selesai justru setelah Santoso, 33, tenggelam, dan tak muncul kembali.

Seperti diketahui, tim peneliti itu dibentuk oleh Menteri Kehakiman, 19 Agustus lalu. Inilah tim antardepartemen, yang diketuai oleh Prof. Dr. Baharuddin Lopa, dan koordinasi lapangan di laut dipimpin oleh Laksamana TNI Anwar Affandi. Santoso Pribadi sendiri adalah anggota tim yang berasal dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Ditjen Kebudayaan. Ia memang seorang dari sedikit ahli arkeologi bawah laut.

Dan keahliannya, tentu, sangat diperlukan dalam tim itu. Sebab, inilah tim yang dibentuk setelah heboh perkara harta karun, yang digaruk oleh Michael Hatcher, tempo hari. Seperti diketahui, sekitar 160 ribu barang pecah belah antik buatan Cina, serta 225 batang emas lantakan, ditemukan Hatcher di kapal De Geldermalsen milik VOC, yang katanya tenggelam di perairan antara Pulau Mapur dan Merapas 234 tahun silam. Harta karun itulah yang kemudian dijual di Balai Pelelangan Christie di Amsterdam, Mei lalu, yang secara total menghasilkan US$ 15 juta, atau sekitar Rp 16,6 milyar. Suatu jumlah yang mengagetkan karena itu berarti, lebih dari separuh APBD Provinsi Daerah Istimewa Yogya yang jumlahnya sekitar Rp 30 milyar.

Hatcher sendiri menyebut harta karun itu ditemukannya di perairan internasional. Te B. Oekhost, juru bicara Kementerian Luar Negeri Belanda, juga berpendapat, De Geldermalsen tenggelam di perairan internasional. Tapi betulkah?

Inilah sebenarnya pangkal masalah. Ketidaktegasan justru berasal dari pihak Indonesia sendiri. Menurut Oekhost, pada Sapta Adiguna dari TEMPO, dalam wawancara di Negeri Belanda, pihak Indonesia, jauh hari sebelum lelang dilaksanakan, telah mendapat pemberitahuan. Tapi, Deparlu RI rupanya belum mempunyai bukti bahwa harta karun itu ditemukan di perairan Indonesia. Karenanya, Deparlu lantas meminta konfirmasi dari Departemen Dalam Negeri.

Pihak Depdagri, ternyata, juga tak dapat memastikan di manakah harta karun itu digaruk. Maka, agar akurat, perlu penelitian. Untuk itu, pihak Deparlu lantas meminta pada Belanda agar pelaksanaan lelang ditunda tiga bulan. Indonesia toh tak memiliki catatan ihwal posisi kapal-kapal dagang VOC yang tenggelam di masa lalu. Dan, berakhirlah masa tiga bulan yang diminta. Begitulah, harta karun itu pun akhirnya dilelang.

Setelah lelang terjadi, heboh pun pecah. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang kemudian menugasi Menteri Mochtar Kusumaatmadja, untuk menyelesaikan perkara harta karun itu. Kepada pers, bulan Juli lalu, Menlu, yang ahli hukum laut internasional itu, berkata, perlu penelitian apakah ada dasarnya bagi Indonesia untuk mengklaim harta karun itu. Untuk itu, "Banyak instansi tersangkut, dan penyelesaiannya harus dilakukan secara terpadu," kata Menlu Mochtar.

Tim peneliti terpadu, dengan anggota antara lain Santoso Pribadi, itulah yang kemudian dibentuk oleh Menteri Kehakiman. "Tim hanya ditugasi untuk mencari dan menentukan lokasi, di koordinat mana harta karun yang diributkan itu ditemukan," kata Ketua Tim Baharuddin Lopa.

Menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, tim bertugas di perairan Riau, yakni di sekitar Pulau Mapur, Pulau Kayu Ara, Pulau Marapas, dan karan Heloputan. Upaya menentukan koordinat yang pasti, tempat harta karun itu "dijarah", dimulai 1 Agustus lalu. Selain kapal patroli Bea Cukai, tim menggunakan kapal survei Bima Saki milik Ditjen Perla. Kapal survei ini memiliki peralatan navigasi yang lengkap dan modern.

Santoso sebenarnya hanyalah penyelam pendukung. Bahkan Menteri Ismail, menyebutnya, berstatus penyelam cadangan, "yang mungkin kurang berpengalaman". Dalam operasi itu, ada enam orang penyelam profesional dari Ditjen Perla yang mendampinginya. Di antaranya, Kiman Shun, Hermanto, dan Joko Susanto.

Tim tiba di perairan Piau 21 Agustus. Esoknya, pencarian situs pertama dilakukan di perairan Kayu Ara. Upaya ini dilakukan oleh tiga penyelam profesional dari Ditjen Perla. Memang, adalah menjadi kewajiban, menyelam berbarengan tiga orang. Ucok tak ikut menyelam. Setelah menyelam sekitar 30 menit, ketiganya muncul di permukaan. Hasilnya? Nihil.

Meski upaya mencari belum optimum, hanya sekitar setengah jam, entah mengapa, tim memutuskan berpindah lokasi, 22 Agustus itu juga. Tim hengkang ke daerah karang Heloputan. Di sini, kembali tiga penyelam profesional dari Ditjen Perla turun ke dasar laut. Berkali-kali penyelam itu diterjunkan, toh tak menghasilkan apa-apa.

Usaha pencarian itu dilanjutkan hingga Minggu, 24 Agustus. Begitulah, selama tiga hari itu, para penyelam profesional dari Subdirektorat Salvage dan Pekerjaan Bawah Air, Direktorat Jasa Maritim, gagal menemukan sedikit pun tanda-tanda berhasil.

Tim makan siang di KM Bima Sakti. Santoso Pribadi lantas memutuskan turut menyelam. Begitulah, pada pukul 13.55, Santoso, Hermanto, dan Joko terjun lewat buritan kapal. Mereka menyelam pada kedalaman 35 meter. Pukul 14.10, ketiga penyelam muncul dengan membawa sembilan mangkuk putih, dan 17 pecahan piring buatan Cina. "Santoso sendirilah yang kemudian mencuci barang-barang itu," kata Letkol (Pol.) A. Latuihamallo, Kadit Intelpampol Polda Riau, pada Agus Basri dari TEMPO.

Tanda-tanda menggembirakan mulai tampak. Bahkan, pada penyelaman yang pertama itu, Santoso mengatakan ia melihat jangkar kapal di dasar laut. Ia juga melihat sebuah meriam yang penuh dengan karang. Dan, malam harinya, arkeolog lulusan UI (1983) itu membuat skesta yang melukiskan keadaan dasar laut.

Dan tibalah hari nahas, 25 Agustus. Santoso kembali turut menyelam dengan pasangan yang sama dengan hari sebelumnya. "Saya sempat memesan pada Santoso, agar dibawakan segenggam pasir dan sebuah karang dari dasar laut," ujar Latuihamallo. Ucok, yang hari itu mengenakan celana abu-abu, bersama Hermanto, berhasil mengikat jangkar yang dilihatnya. Juga meriam itu.

Setelah mengikat jangkar dan meriam itu, penyelam itu kembali muncul ke permukaan. Ternyata, Santoso kembali membawa temuan baru. Ayah seorang anak berusia sekitar setahun itu datang membawa sebuah mangkuk kecil, sebuah piring pecah, dan sebongkah batu bata. Dan yang mengagetkan, ia juga membawa pesanan Latuihamallo. "Santoso memberikan pesanan saya, dengan wajah berseri-seri," kata Latuihamallo.

Semua barang itu ditemukan Santoso dari kerangka kapal yang tenggelam. Penelitian kemudian membuktikan, seperti diungkapkan Menteri Ismail Saleh, barang-barang pecah belah itu buatan Cina dari Dinasti Ming. Bahkan barang-barang kuno yang ditemukan itu, ternyata, sejenis dan seumur dengan barang-barang kuno yang dijual Michael Hatcher.

Hujan pun turun 25 Agustus siang. Angin keras. Gelombang besar. Langit diselimuti awan gelap. Para penyelam pun beristirahat. Tapl, sekitar pukul 13.00, cuaca terang benderang. Laut seakan tak berombak. Santoso kembali berniat mcnyelam. Ia tampak menggebugebu. Begitulah, 37 menit kemudian, setelah hujan reda, Santoso kembali menyelam. Kali ini, ia sendirian saja.

"Semangatnya memang tangguh," kata Salam Herwanto, Kadit Sospol Provinsi Riau, salah seorang anggota tim pada Bersihar Lubis dari TEMPO. Tapi, sepuluh menit berlalu Ucok toh tak muncul. Baru dua puluh menit kemudian, tepat di atas lokasi harta karun, muncul gelembung-gelembung yang seakan membelah permukaan laut. Di kejauhan tampak tubuh Santoso sekelebatan, dan kemudian menghilang lagi, dan tak pernah muncul kembali.

Menurut Dirjen Habibie, itulah yang keempat kali Santoso menyelam. Total, tim itu telah melakukan 13 kali penyelaman di berbagai spot. Tercatat Hermanto dua kali menyelam, Joko Susanto lima kali, dan Kiman Kihun enam kali.

Kiman, memang, salah seorang penyelam dari Ditjen Perla, yang tergolong senior. Adalah Kiman, yang kemudian menyadari setelah dua puluh menit tak kunjung muncul -- ada sesuatu yang tak beres pada Santoso. Ia lantas segera menyelam. Tapi sepuluh menit kemudian, ia muncul tanpa hasil. "Tak terlihat sama sekali," komentarnya dengan napas mendengus satu-satu karena kelelahan.

Musibah telah terjadi. Operasi pun dihentikan. "Saya segera mengirim berita ke Kapolres Tanjungpinang. Saya meminta agar para nelayan dengan perahu-perahunya dikerahkan," kata Latuihamallo. Di musim angin yang ganas seperti itu, biasanya nelayan enggan melaut. Toh mereka berdatangan hendak membantu. Sementara itu, tim SAR pun dikerahkan pula. Kapal dan helikopter milik ALRI, juga KRI Teluk Semangka, datang ke lokasi. Tapi, hingga 6 September lalu, Santoso tak kunjung ditemukan. Operasi pencarian pun lantas dihentikan.

Mengapa malapetaka itu sampai terjadi? Bukankah Ucok, anak Laksamana Muda (pur) itu, tergolong pandai berenang dan menyelam? Sejak di sekolah dasar, Ucok telah gemar olah raga di perairan, seperti ski air. Bahkan, di kala SMA, ia aktif di olah raga menyelam. "Kami sekeluarga memang menyukai olah raga ski air," kata Diah, salah seorang dari adik Santoso pada Yusroni dari TEMPO .

Tak hanya itu. Ucok, dengan tinggi sekitar 170 cm, dan berat 65 kg, pernah pula dilatih di bidang arkeologi dasar laut di Muangthai. Inilah program SPAFA (Seameo Project in Archeology and Fine Arts). Pertama pada 1985, untuk tingkat dasar. Kedua kali pada 1986, untuk tingkat lanjut (advanced). "Ia mendapat pengakuan sebagai peserta terbaik dari pemerintah Muangthai," kata sebuah sumber pada Syatrya Utama dari TEMPO. "Ia juga mendapat pengakuan untuk penyelaman dengan kedalaman 40 meter di bawah permukaan laut."

Menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, kesehatan Santoso ketika operasi penyelaman dilakukan baik. Menteri juga menyebut bahwa Ucok pernah dididik di Muangthai selama enam bulan, dengan kemampuan menyelam kedalaman 30 meter,"tapi mungkin kurang berpengalaman."

Apa pun, toh ada yang mempersoalkan, mengapa anggota tim lainnya membiarkan Santoso pergi menyelam seorang diri. Adakah semacam kesengajaan dalam musibah itu ? Mungkinkah karena iri hati para penyelam profesional dari Ditjen Perla -- yang ternyata "tak berhasil" menemukan posisi kapal tempat harta karun itu?

Soalnya, sebelum tim itu dibentuk oleh Menkeh pada 19 Agustus, telah datang sebuah kapal swasta ke perairan Riau. Itulah kapal KM Rader, milik PT Sac Nusantara. Kapal berbobot mati 5.945 ton itu, sejak 25 Juni hingga 8 Juli, telah lebih dulu mengaduk-aduk perairan sekitar 60 mil dari Tanjungpinang. Dipimpin Nakoda Rafles, kapal itu menurunkan empat orang penyelam, juga dengan tujuan mencari lokasi kapal VOC, dan harta karun seperti yang dijarah Hatcher. Dalam ekspedisi ini, penyelaman itu dipimpin oleh David Bernet, dan juga diawasi oleh Kiman Sehun dari Direktorat Jasa Maritim, Ditjen Perla. Kiman inilah pula yang kemudian menjadi penyelam dalam tim yang dibentuk Menkeh, dan yang diketuai Baharuddin Lopa.

Selama 13 hari beroperasi, KM Rader juga menemukan ratusan pecahan piring dan mangkuk, yang juga diperkirakan berasal dari masa Dinasti Ching. Kepala Ditsospol Provinsi Riau, Salam Herwanto, pada 4 Juli silam, sempat memerintahkan agar kapal itu diseret ke Tanjungpinang. Kapal itu semula diduga beroperasi tanpa izin. Setelah diperiksa, ternyata kapal itu telak melapor ke syahbandar. Bahkan operasinya di bawah pengawasan Direktorat Jasa Maritim.

Kepada polisi, David Bernet, penyelam asal Selandia Baru, mengatakan, melihat tanda-tanda ada tiga bangkai kapal. Salah satu di antaranya adalah De Geldermalsen, kapal milik VOC yang tenggelam pada awal 1752. Dua kapal lainnya, diduga kapal perang, juga milik VOC. Ketiga bangkai kapal itu berada pada koordinat 00ø 57' 09" Lintang Utara, 105 10' 22" Bujur Timur. Bandingkanlah hasilnya, dengan koordinat yang ditemukan oleh tim resmi yang dipimpin Lopa: 00ø 36' 25" Lintang Utara, 105ø 08' 50" Bujur Timur.

Mengapa sebuah perusahaan kapal swasta, dengan penyelam dipimpin orang asing, diberi izin beroperasi, justru setelah heboh harta karun mencuat di permukaan? Dan diawasi sendiri oleh Direktorat Jasa Maritim? Pertanyaan itu bisa diperpanjang terutama mengingat sebelumnya telah ada pertemuan resmi antara pihak Direktorat Jasa Maritim Ditjen Perla dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Ditjen Kebudayaan. Dari yang terakhir ini hadir sang direktur sendiri, Uka Tjandrasasmita -- atasan Almarhum Santoso Pribadi. Pertemuan pada 15 April 1986 itu justru berlangsung di ruang kerja Kepala Direktorat Jasa Maritim.

Kolonel (L) Saman Abdullah, Kasubdi Salvage dan Pekerjaan Bawah Air, Ditjen Perla, dengan tenang menunjukkan surat izin operasi bagi KM Rader milik PT Sac Nusantara. "Sac Nusantara tidak bersalah," katanya pada Mohamad Cholid dan Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. "Kapal Rader itu tidak ada kaitannya dengan pencurian harta karun di Riau. Kami yang menginstruksikan agar KM Rader mengambil sample dan mengecek koordinat tempat ditemukannya harta karun itu," tambahnya. Kapal ini tergolong modern dengan peralatan navigasi yang lengkap. Ada alat deteksi dasar laut, yang juga dilengkapi dengan robot. Robot inilah yang diturunkan ke bawah air, seraya membawa kamera. Dan, lewat kamera inilah dapat dipantau keadaan dasar laut pada luas tertentu. Akhirnya, KM Rader itu memang mendapatkan sample yang dimaksud. "Beberapa sample berupa piring antik telah diserahkan pada Direktorat Purbakala," tambah Saman Abdullah.

Di tempat terpisah, kepada dua wartawan yang sama, Dirjen Perla JE. Habibie tsnus terang bilang? "Izin itu telah disalahgunahan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab." Katanya kemudian melalui telepon, "PT Sac Nusantara mendapatkan izin atas permohonan sendiri, untuk melakukan salvaging. Bahwa izin itu telah dibelokkan, saya tidak tahu." Dan kembali Dirjen menegaskan, tidak benar ada pihak swasta yang ditugasi mengecek koordinat tempat harta karun itu ditemukan.

Toh pertanyaan tetap mengganjal. Menurut suatu sumber, atas permintaan Baharuddin Lopa, ketiga penyelam dari Ditjen Perla memang telah diperiksa. Tak jelas apa hasil pemeriksaan itu. Kiman Sehun sendiri tak bersedia memberi komentar. "Saya diinstruksikan oleh atasan saya, agar tidak memberi keterangan," katanya pada Riya Sesana dari TEMPO.

Dirjen Perla Habibie berpendapat, Santoso Pribadi meninggal, "karena kecelakaan biasa, sesuatu yang mungkin saja terjadi." Tapi ia membantah bahwa itu terjadi karena pengamanan yang tak beres. "Semua prosedur untuk penyelaman telah dilakukan," ujarnya. Santoso tak hanya diperiksa kesehatannya yang, ternyata, beres. Tapi, semua perlengkapan yang dibawanya untuk menyelam juga lebih dulu diperiksa. Yakni, antara lain, tabung oksigen, regulator, sepatu but untuk menyelam, sepatu katak (fins), masker, pelampung yang bekerja otomatis, serta kompas.

Ada yang menduga Santoso tewas karena kehabisan oksigen. Tapi itu pun dibantah. Ucok memanggul tabung yang berisi 8 liter oksigen. "Paling tidak, cukup bagi penyelam bertahan selama 88 menit di bawah air," kata Saman Abdullah.

Lalu, apa yang menyebabkan Santoso tak muncul kembali? Adakah sindikat tertentu yang menghabisinya? "Itu tak mungkin terjadi," kata Kadit Intelpampol Polda Riau, Letkol A. Latuihamallo. "Semua areal di sekitar daerah penyelaman dikawal ketat," katanya.

Latuihamallo lebih melihat hilangnya Santoso, karena disikat ikan hiu. Tapi tak sedikit orang yang menyesalkan mengapa tim Lopa itu terjun di bulan Agustus. Sebab, inilah masa ketika angin barat dan selatan bertindak dahsyat, membangkitkan gelombang dan arus laut.

Musibah telah terjadi. Hilangnya Santoso masih diselimuti misteri. Juga, masihkah misteri, ihwal hilangnya harta karun itu sendiri. Seberapa besar peranan Gimin Bachtiar? Betulkah ia tokoh yang membantu Michael Hatcher? Siapa lelaki ini? Pada Gimin, yang hingga kini masih diperiksa yang berwajib inilah -- berbagai kunci penjarahan harta karun di kapal VOC itu bergantung jawabannya (lihat Gimin, Pensiunan Mantri Polisi.)

Yang kini sudah pasti ialah bahwa pemerintah telah dapat memastikan: Harta karun itu memang terdapat di wilayah perairan Indonesia. "Kami telah memastikan, harta karun yang dicuri Hatcher itu berada di titik koordinat yang jelas-jelas berada di wilayah Indonesia," kata Lopa. Berapa mil tepatnya? "Hampir berada di perbatasan antara wilayah hukum RI dan perairan internasional. Tapi masih kurang 12 mil dari batas pantai perairan internasional."

Belum jelas benar apakah pemerintah RI akan mengklaim harta karun yang digaruk Hatcher dan sudah pula dilelang itu. Tapi Habibie menduga bahwa ada kerja sama antara Gimin Bachtiar dan Michael Hatcher. Dan, dengan cepat sang dirjen mengatakan, "Jangankan di laut, sedangkan di darat saja sulit mengawasi pencurian," katanya.

Saur Hutabarat, Laporan Biro Jakarta & Medan

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial