Minggu, 25 Oktober 2009

SAIL BUNAKEN 12-20 AGUSTUS 2009 ; Revitalisasi Visi Negara Maritim

Kegiatan bahari kaliber internasional bertajuk ”Sail Bunaken 2009” di Manado, Sulawesi Utara (12-20 Agustus 2009) yang diadakan bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-64 RI semoga menginspirasi. Selain parade kapal perang (fleet review), juga ada lintas layar (sail pass), yacht rally Darwin (Australia)-Manado, lintas terbang (flight pass), kirab kota, bakti sosial, dan pengibaran bendera Merah Putih di dalam laut. Semoga bukan hanya memutar roda ekonomi dan mempromosikan pariwisata bahari, namun juga merevitalisasi visi negara maritim Indonesia

Pada ulang tahun kemerdekaan kali ini, Indonesia menarik perhatian dengan menggelar perhelatan bahari tingkat dunia. Rencananya diikuti ratusan kapal dan kapal perang dari berbagai negara. Diperkirakan 8.000 Anak Buah Kapal (ABK) asing akan hadir di Manado. Yang menarik, Kapal Induk USS George Washington milik Angkatan Laut AS juga datang untuk memeriahkan acara. Pada 17 Agustus 2009, sebanyak 1.500 penyelam akan menyelam dan mengadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih di dalam laut untuk memecahkan rekor dunia (Guinness world record).
Tentu saja ”Sail Bunaken 2009” menjadi ajang promosi wisata bahari yang sangat strategis. Gaungnya akan membahana sehingga para turis asing potensial akan tergerak untuk berkunjung ke tanah air. Acara itu sendiri diharapkan memberi dampak multiplayer effect bagi perekonomian di Sulawesi Utara. Bahkan diperkirakan akan ada Rp 25 miliar uang beredar selama penyelenggaraan event kelas dunia tersebut.
Namun, tentu kita masih ingat tragedi bom JW Marriot yang baru lalu, yang telah menggagalkan event akbar sepakbola. Gara-gara kecolongan aksi teror itu, tim Manchester United yang telah lama ditunggu-tunggu batal main di Jakarta. Artinya, sukses ”Sail Bunaken 2009” ini tidak hanya ditentukan oleh kepiawaian para pebisnis pariwisata kita. Suksesnya ditentukan pula oleh kesigapan Indonesia untuk mengamankan perhelatan itu dari segala jenis gangguan keamanan. Kehebatan daya pikat pariwisata bahari tidak begitu dipertaruhkan dalam acara itu. Dunia sudah tahu kemolekan wisata laut kita. Yang justru menjadi pertaruhan adalah kemampuan Indonesia menjamin keamanan. Pariwisata tanpa didukung keamanan juga tidak akan berarti apa-apa seperti sudah terbukti dalam kasus terorisme di Bali.
Dengan demikian, acara ini seharusnya menjadi ajang unjuk kemampuan Indonesia untuk mengamankan tanah airnya dan untuk menjaga tamu-tamunya. Apalagi dalam acara ini hadir banyak kapal perang asing yang tentu saja merepresentasikan kehebatan militer masing-masing negara. Sebagai tuan rumah, apalagi yang sedang berulang tahun, seharusnya kita mampu menjamu dan menjaga para tamu. Bukannya justru ditolong oleh para tamu gara-gara tak becus menangani masalah keamanan. Dalam hal inilah nama Indonesia dipertaruhkan di mata dunia. Supaya orang jangan menduga-duga kalau datangnya kapal induk Amerika Serikat, misalnya, menjadi pertanda seolah-olah Indonesia berlindung di bawah ketiak si Paman Sam itu.
Hal di atas mengingatkan kita akan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim di masa lalu. Masih satu pulau dengan Manado, Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan pernah menjadi penguasa samudera pada abad ke-16. Waktu itu, para pedagang Makassar dan Bugis sudah berlayar menjelajahi kepulauan Indonesia, sampai ke Sumatera, Kalimantan, Malayu, Sri Lanka, Filipina, pantai barat Papua, dan pantai utara Australia. Kapal mereka yang terkenal, pinissi, menjadi teknologi maritim yang tangguh pada zamannya.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, semangat kemaritiman kita masih menggelora. Pada 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia memperjuangkan ”Deklarasi Djuanda”. Intinya adalah penekanan pada ”archipelago principle” dimana lautan bukan sebagai pemisah namun pemersatu antarpulau-pulau dalam sebuah negara kepulauan. Perjuangan itu pun berhasil setelah pada 1983, dalam Konferensi III tentang Hukum Laut Internasional, PBB mengakui Pokok-pokok Azas Negara Kepulauan dan kemudian mencantumkannya dalam UNCLOS 82.
Sayangnya, di tengah kemenangan perjuangan itu, Indonesia sendiri seperti kurang peduli dengan dunia maritim. Buktinya, keamanannya tidak dijaga. Kapal asing sering masuk. Dan, yang kadang tidak disadari oleh masyarakat luas, harta karun di laut kita sudah banyak dicuri. Seandainya kekayaan itu digali dan dimanfaatkan dengan baik maka bangsa ini akan makmur. Menurut arkeolog Amerika Serikat, Tonny Wells, paling tidak terdapat 185 kapal kuna karam di perairan Indonesia. Jumlah itu adalah 41 persen dari total kapal kuna yang karam di kawasan Asia Tenggara. Nilainya sangat menggiurkan. Sebuah saja, misalnya kapal Portugis Flor de la Mar yang karam pada tahun 1511 ditaksir bernilai Rp 56 triliun! Pada 1999, seorang pemburu harta karun Michael Hatcher berhasil mengeruk harta karun kapal Tek Sing yang karam di perairan Riau pada tahun 1822. Hasil buruannya, 350 ribu porselin zaman Dinasti Qing bernilai Rp 132 miliar. Ia menyelundupkan harta karun itu ke Jerman melalui Australia. Menurut investigasi, banyak kasus pencurian harta karun laut di Indonesia terjadi karena tindak kolusi aparat-pejabat-pengusaha, mulai dari tahap perizinan sampai tahap pelelangan.
Dalam hal perdagangan laut, kita juga masih jauh tertinggal. Pada tahun 1970 saja, pelabuhan Singapura sudah sangat ramai, dikunjungi sebanyak 38.066 kapal. Pada tahun 1982 terminal peti kemas di negeri itu telah menangani lebih dari 13 juta ton muatan untuk pengiriman via samudera. Pelabuhan di Singapura telah menjadi pelabuhan transito dan pengumpul komoditas terbesar di Asia Tenggara. Padahal, sejarahnya, pelabuhan Singapura itu dibangun oleh Raffles (1819-1824) untuk tujuan menyaingi Batavia (Jakarta) yang sudah lebih dulu berkembang.
Semoga momen “Sail Bunaken 2009” membangkitkan kembali visi Indonesia sebagai negara maritim. Wilayah laut kita yang indah, kaya, mengandung harta karun, mengandung sumber daya alam dan sumber daya hayati – yang diincar banyak orang – harus kita jaga, kita kuasai, kita amankan, dan kita manfaatkan untuk kepentingan bangsa. Biarlah Merah Putih berjaya di laut kita.q-c (1432-2009)
*) Haryadi Baskoro SSos MA MHum,
Pengamat, Peneliti, Penulis bidang Kebudayaan.

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial