Jumat, 13 November 2009

Berburu Bangkai Kapal di Selat Bangka


Budi Wiyana terlihat sedikit kesal. Perahu kayu yang ia tumpangi bersama anggota tim survei dari Direktorat Peninggalan Bawah Air, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hanya berputar-putar di perairan sekitar Pulau Pelepas.

Sudah lebih dari dua jam sejak rombongan bertolak dari dermaga Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, titik tempat bangkai kapal Belanda yang terkubur di perairan ini belum juga bisa dipastikan. Seorang nelayan yang bertindak sebagai pemandu, kendati sudah pernah melakukan penyelaman di lokasi ini, masih ragu menunjuk lokasi persisnya.

Matahari sudah berada lurus ”di atas” kepala. Laut yang semula relatif tenang mulai berulah akibat angin kencang datang dari buritan. Perahu pun oleng diombang-ambingkan gelombang. Ketika rasa mual itu tak tertahankan, dari arah buritan terdengar suara beberapa orang muntah.

Setelah mereka-reka dan melihat posisi Pulau Pelepas sebagai patokan, meski terlihat masih agak ragu, sang nelayan memberanikan diri menunjuk satu titik di tengah laut lepas. Kapal pun bergerak maju, lalu berputar, dan sauh pun diturunkan. Dua penyelam lokal yang bertindak sebagai tim pendahulu diminta terjun terlebih dahulu untuk mengecek keletakan bangkai kapal dimaksud, sekaligus memasang tali pengaman.

Lima arkeolog gabungan dari Balai Arkeologi Palembang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, dan Direktorat Peninggalan Bawah Air, Ditjen Sejarah dan Purbakala, yang sudah siap dengan peralatan selam hanya bisa menunggu. Kurang dari 3 menit, Bujang dan Sabar yang mendahului penyelaman muncul ke permukaan, tanpa hasil.

”Di lokasi ini tidak ada,” kata Bujang.

Baru setelah pada penyelaman berikutnya di lokasi berbeda, begitu muncul ke permukaan laut, senyum Bujang dan Sabar tampak mengembang. Perburuan terhadap sisa bangkai kapal Belanda yang kandas di perairan Selat Bangka—sekitar 2 mil laut (3,7 kilometer) lokasi dari mercusuar di Pulau Pelepas yang pernah dipugar atas perintah Ratu Wilhelmina pada tahun 1893—itu baru langkah awal untuk pendataan lebih lanjut.

”Kayaknya lumayan besar dan panjang, terbujur pada kedalaman sekitar 17 meter dari permukaan laut. Tetapi, arus di bawah sudah mulai kencang, Pak. Airnya pun mulai keruh,” ujar Sabar memberikan laporan.

Setelah tim berembuk, mengingat semakin siang menjelang sore kondisi laut perairan Selat Bangka mulai tidak bersahabat, diputuskan hanya satu orang yang turun. Itu pun untuk membuat dokumentasi awal.

Pilihan jatuh pada Judi Wahjuddin. Dibekali kamera khusus, arkeolog dari Direktorat Peninggalan Bawah Air ini—ditemani Bujang—terjun ke dasar laut.

Kali ini penyelaman berlangsung lebih lama, sekitar 15 menit. Begitu muncul di permukaan, Judi melaporkan, arus di bawah bukan saja semakin deras, tingkat kekeruhan air pun kian pekat, dengan jarak pandang hanya 1-2 meter.

Judi dan Bujang sempat memutari bangkai kapal besi itu, sekaligus melakukan pengukuran. Diketahui, kapal sepanjang sekitar 70 meter tersebut kandas dalam kondisi terbelah dua.

Gosong dan karang

Kalau saja laut di perairan Kepulauan Bangka Belitung bisa dikeringkan, niscaya serakan sisa-sisa bangkai kapal kuno dari berbagai masa akan menyembul ke permukaan. Jumlahnya pun dipastikan sangat fantastis.

Selama berabad-abad, terutama sejak Sriwijaya menjadi penguasa laut di kawasan ini pada abad VII-XII, urat nadi pelayaran dan perdagangan yang melewati perairan Bangka Belitung tergolong padat. Sebagai penguasa kawasan ”muara” selat yang diapit daratan Tanah Semenanjung dan Pulau Sumatera, Sriwijaya berkepentingan untuk menjadikan wilayah perairan Bangka Belitung sebagai alur pelayaran utama.

Kapal bermuatan barang-barang dagangan, termasuk benda-benda berharga, dari daratan Tiongkok menuju Asia Barat dan Persia dikondisikan harus melalui wilayah kekuasaan Sriwijaya. Sebagian dibelokkan memasuki alur pelayaran Sungai Musi menuju Palembang.

Alur pelayaran melalui perairan Bangka Belitung sesungguhnya penuh risiko. Banyak gosong dan karang, yang menjadi ancaman kapal-kapal yang melintas. Tidak mengherankan bila selama berabad-abad banyak kapal kandas dan akhirnya tenggelam di kawasan ini.

Kapal Belanda yang terkubur di sebelah barat Pulau Pelepas baru satu contoh kecil. Pada masa yang jauh lebih ke belakang, kapal-kapal karam tentu lebih banyak lagi. Belum adanya peralatan navigasi yang mendukung aktivitas pelayaran, serta banyaknya gosong dan karang di kawasan ini diduga menjadi penyebab utama, selain aksi perompakan dan pembakaran kapal oleh lanun (istilah bajak laut di kawasan ini) yang banyak dicatat dalam kronik-kronik China serta Arab dan Persia.

Sebuah catatan kuno mengenai pelayaran China menyebutkan lebih dari 30.000 kapal yang diberangkatkan dari pelabuhan-pelabuhan di daratan Tiongkok tidak kembali karena tenggelam di perjalanan. Sebagian besar dari kapal-kapal tersebut diperkirakan melalui perairan Bangka Belitung, yang memang sudah diketahui banyak terdapat gosong dan karang.

Tidak aneh bila pencarian titik-titik lokasi kapal karam yang dilakukan secara diam-diam di perairan ini terus berlangsung hingga kini. Nelayan pun banyak yang dilibatkan dalam kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang keberadaan kapal karam di kawasan ini.

”Tidak sedikit calon investor yang memburu informasi tentang titik lokasi yang diindikasikan tempat sisa bangkai kapal terkubur. Kabarnya, untuk informasi semacam itu, mereka berani membayar mahal, Rp 100 juta hingga Rp 150 juta,” kata Surya Helmi, Direktur Arkeologi Bawah Air. (WAD/KEN)
Kompas.com - 13 November 2009

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial